Friday, May 8, 2020

Bisnis perikanan dan lobster.

Suatu waktu saya bertemu teman aktifis. Dia berkata dengan nada kecewa. " Tahukah anda bahwa 70 persen potensi produk perikanan ada di Asia Pasifik dan 30 persen dari total tersebut berada di Indonesia. Artinya kita sangat kaya sumber daya perikanan laut. Berdasarkan data sumber kekayaan laut Natuta khususnya di ZEE itu sangat besar. Sangking besarnya jadi rebutan nelayan China, Vietnam, Thailand. Tapi anehnya nelayan kita tetap miskin. "

" Ya. Setiap orang selalu bercerita tetang betapa besarnya kekayaan laut kita. Namun itu hanya potensi saja. Secara ekonomi   tidak seperti cerita dan data." Kata saya.

" Mengapa? dia bingung.

" Karena untuk bisa menjadikan potensi alam itu menjadi potensi ekonomi harus di melalui proses yang tidak mudah. Nah, karena tidak mudah, maka itulah sebabnya berpuluh tahun kita memunggungi laut."

" Oh itu makanya potensi ekonomi ikan kita kalah dengan negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand. Misal, ekspor Vietnam tahun lalu sudah mencapai 8,9 miliar dollar AS, sedangkan Indonesia baru memproyeksi ekspor ikan 5,9 miliar dollar AS tahun 2020. Tahun lalu produksi ikan kita mencapai 7,4 juta ton. Tapi 40% kebutuhan industri pengalengan ikan, kita masih impor. 49% cumi masih impor.  Padahal luas laut mereka tidak seberapa dibandingkan dengan luas laut teritorial Indonesia sebesar 290.000 km persegi dan potensi lestari sumber daya ikan laut yang diperkirakan sebesar 12,54 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), tentunya laut Indonesia menjadi surga bagi para nelayan. Apakah karena mereka mencuri dari kita ? Katanya dengan retorika dan data kehebatan potensi laut kita.

" Kita boleh saja menuduh pontesi laut kita dicuri oleh asing sehingga kita tidak bisa menikmati kekayaan laut. Alasan itu ada benarnya namun bukan kesimpulan bahwa kegagalan kita mengelola sumber daya laut karena ilegal fishing. Terbukti selama 5 tahun era Ibu Susi, tidak sedikit kapal ikan yang ditenggelamkan. Apa hasilnya? tahun 2019 kita kalah dengan Vietnam dalam hal ekspor Ikan. Padahal sebelumnya nilai ekspor kita diatas Vietnam." Kata saya sekenanya.

" Jadi apa penyebabnya sehingga potensi laut tidak optimal menjadi potensi ekonomi ? tanyanya.

" Itu karena business process yang ketat dan beresiko dan proses perizinan yang panjang"

" Gimana prosesnya ?

" Pertama, jumlah kontainer berpendingin (reefer container) sangat terbatas. Itu karena tujuan ekspor kita juga terbatas. Sehingga kapal tidak membawa reefer container yang cukup untuk kita muat. Hal ini disebabkan bisnis perikanan kita masih bersifat tradisional, belum masuk ke industri."

" Apa akibatnya?

" Tangkapan ikan yang melimpah, termasuk hasil tangkapan kapal eks cantrang, di Indonesia timur kerap menumpuk karena menunggu untuk diangkut hingga 10 hari. Lambat diangkut, kualitas jatuh, harga juga jatuh. Ini kadang membuat nelayan frustrasi."

" OK, lanjut "

" Kedua, tidak semua pelabuhan perikanan memiliki alat bongkar muat kontainer. Di sisi lain, jumlah cold storage terbatas. Walau ada program untuk menempatkan lebih banyak kapal pengangkutikan di wilayah dengan stok ikan melimpah, namun faktanya itu hanya program yang tidak terimplementasikan.

"  Apa pasal? 

" Panjangnya birokrasi melewati program itu. Seperti surat izin penangkapan ikan (SIPI), surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) diatur sesuai potensi perikanan. Birokrasi inilah yang menghambat. Artinya kalau SIPI tidak banyak , program itu dihentikan walau potensinya besar. Belum lagi SIKPI yang sangat ketat sesuai lokasi, membuat pengusaha malas untuk angkut ikan ke pusat industri pengalengan ikan..

" OK. Terus "

" Ketiga, alih muatan ikan di tengah laut (transshipment) yang lazim di dunia sebagai metode bisnis penangkapan ikan paling efisien dilarang. Padahal dalam bisnis ikan dalam skala industri, efisiensi itu sangat penting. Karena ini menyangkut kualitas dan biaya produksi, dan harga jual. Seharusnya selama mengikuti regulasi dan dilaporkan, tidak perlu dilarang. Kan, pemerintah berhak menempatkan pengawas di atas kapal sehingga aktivitas alih muat tercatat dan terawasi dengan baik. Jangan hanya mau cari gampangnya agar tidak dicuri, izin transshipment dilarang. Padahal negara lain melakukan hal itu, dan semua baik baik saja.

Keempat, tidak mudah melakukan eksport. Pengusaha harus mendapatkan izin dari BKPM yang merupakan cabang dari KKP. 

"Apa syaratnya?  

" Pertama anda harus memiliki SKP atau surat kelayakan pengelolahan. SKP ini penting untuk mendapatkan izin mendirikan unit pengolahan ikan (UPI). Kemudian harus ada sertifikat manajemen mutu yang dikeluarkan oleh BKIPM. Bukan hanya sertifikat mutu tetapi juga harus ada  sertifikat HC atau health certificate yang merupakan sertifikat kesehatan ikan untuk dikonsumsi. Untuk bisa dikapalkan anda harus memiliki SPM yaitu surat persetujuan muat.

" Cukup izin itu aja ? 

" Belum. Masih ada lagi. Anda harus punya alat traceability, yang terhubung denga GPS dan Satelit. 

" Untuk apa ? 

" Untuk  mengetahui dimana anda menangkap ikan dan darimana asalnya. Ini untuk memastikan ikan anda tidak berasal dari illegal fishing. Atau tidak menangkap di lokasi yang tidak ditentukan oleh pemerintah. Walaupun anda beli ikan dari nelayan, tetap harus ada data tracing itu. Engga gampang kan.

" Apakah selesai? 

" Belum.  Ingat, ikan itu untuk dikonsumsi manusia. Jadi kualitas sangat penting. Apalagi dia mudah rusak karena waktu. Kalau proses penangkapan dan paska tangkap tdak benar, maka tidak akan bisa memenuhi standar mutu. Nah sertifikat dari BKIPM saja tidak cukup. Anda harus lolos sertifikasi dari negara konsumen. Mengapa? Pasar eksport punya standar ketat soal mutu. Apalagi negara maju yang sangat concern dengan mutu dan kesehatan. Sertifikasi mutu yang harus anda penuhi seperti  international Featured Standards (IFS) dan/atau British Reatil Consrtium (BRC). IFS dan BRC dikenal di beberapa pasar Eropa. Untuk pasar AS harus punya sertifikasi FDA. Negara lain menggunakan standar  HACCP ( Hazard analysis and critical control points). 

" Wah rumit juga ya ?

" Karena standar mutu yang ketat itulah makanya berapapun banyak tangkapan ikan belum tentu bisa menghasil nilai ekonomi. Karena memang engga mudah. Apalagi, pengusaha indonesia belum terlatih sebagai industriawan. Mereka umumnya punya mindset pedagang. Daripada capek ekspor mending impor saja untuk jual ke pabrik pengalengan ikan. Apalagi nelayan tradisional. Walau hasl tangkapan banyak, tetap saja nelayan miskin. Dan data statistik 10 tahun terakhir rumah tangga nelayan di Indonesia terus menurun dari 1,6 juta menjadi 800 ribu KK. Itu sebagai indikasi penghidupan dari nelayan engga punya masa depan.

" Apa solusinya pak ? 
" Kita tidak bisa lagi mengandalkan pengelolaan perikanan laut dari nelayan tradisional. Kita harus mulai berani masuk ke industri perikanan.

" Caranya? 

" Dengan memperbaiki izin yang lebih ramah. Agar pemodal dan pengusaha yang berorientasi ekspor mau berinvestasi. Bukan hanya kemudahan perizinan, tetapi juga penyediaan infrastruktur pelabuhan perikanan berkelas dunia, yang dilengkapi coldstroge, stasiun BBM, pembangkit listrik yang cukup, fasilitas logistik seperti reefer container yang cukup, IT system pengawasan bongkar muat yang efisien, dan lain sebagainya. Semua pelabuhan berada dipusat produksi ikan dan bisa langsung di ekspor. Artinya semua pelabuhan itu adalah berkelas international. 

Kalau kita tidak masuk ke industri sektor perikanan, maka berapapun luas laut kita, tidak akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan nelayan tetap miskin. Pencurian ikan oleh nelayan asing akan terus terjadi, berapapun kapal pengawas perairan dikerahkan. Agar sumber pencarian nelayan tidak dikorbankan oleh pengusaha bermodal, maka izin penangkapan ikan bagi pengusaha besar dibatasi hanya di landas kontinen dan ZEE. Selagi diatur dengan baik, antara yang kecil dan besar tidak akan saling memakan. Masing masing akan berkotribusi kepada perekonomian nasional. Tawaran kerjasama perikanan di ZEE oleh Indonesia kepada China dan Vietnam, adalah solusi yang bagus dan sesuai dengan philosofi industri untuk mengangkat nilai ekonomi raksasa yang ada di laut. Paham ya. "

"  Jadi ngerti, Ternyata potensi saja tidak cukup. Masih diperlukan skill yang hebat dan kemauan yang besar. Terus gimana dengan kebijakan menteri sekarang yang mengizinkan ekspor benih lobster? Katanya ibu Susi menentang itu"

" Sebetulnya kalau dilihat dari satu sisi Ibu Susi engga salah. Demi pelestarian lingkungan dan daya saing kita. Tapi sebetulnya kebijakan pemerintah sekarang itu kelanjutan dari kebijakan Ibu Susi. Kan presidennya masih sama, yaitu Jokowi. “

“ Bisa jelaskan dasar kebijakannya apa ?

“ Sudah saya katakan tadi. Kebijakan pemerintah sekarang bukan hanya memacu produksi tetapi produksi yang bisa di ekspor. Kita punya masalah soal defisit neraca perdagangan. Sumber daya laut kita raksasa tetapi ekspor ikan kalah dengan vietnam yang lautnya seupil bila dibandingkan dengan Indonesia. Nah ini yang harus dibenahi oleh Jokowi di periode kedua. Agar hasil laut kita leading meningkatkan ekspor nasional sehingga bisa mengatasii defisit perdagangan. “

“ Jadi alasannya meningkatkan ekspor hasil laut. Padahal sebelumnya era Ibu Susi dilarang ekspor benih lobster ? 

“ Pertanyaannya sederhana saja. Apakah dengan larangan ekspor selama ini eksport hasil laut kita bisa mengalahkan Vietnam? Kan engga. Malah 90% bibit lobster yang dibudidayakan vietnam itu berasal dari Indonesia dan itu justru meningkatkan ekspor Vietnam. Padahal katanya ekspor benih lobster dilarang. Kan aneh?. “

“Artinya selama ini banyak terjadi penyeludupan ekspor benih lobster. ?

“ Itu faktanya. Pemerintah kecolongan pajak dan devisa. Semangat larangan ekspor hanya sebatas regulasi dan retorika dan kalau ada yang kena tangkap itu hanya pencitraan. Tetapi lebih banyak yang lolos. Nah kalau izin diberikan, kan nilai ekspor masuk devisa dan pajak masuk kas negara. “ 

“ Tapi Lobster kita bisa punah kalau pemerintah  izinkan ekspor .”

“ Memang pertumbuhan lobster itu di alam hanya 1%. Lambat sekali. Tapi kalau kita budidayakan benih lobster, itu dapat membuat 40-70 persen benih lobster hidup sesuai dengan jenis lobster. Di samping itu izin ekspor benih hanya diberikan kepada perusahaan yang punya  usaha pembudidayaan lobster.  Mereka wajib melepasliarkan lobster sebanyak 2 persen dari hasil panen pembesaran Lobster dengan berat minimal lobster yang dilepasliarkan adalah 50g/ekor. Artinya masalah kekawatiran punah itu sudah diantisipasi. “

“ Oh artinya tidak semua benih itu di eksport. Sebagian juga dibudidayakan agar proses reproduksi benih terjadi.“ 

“ Ya.”

“ Terus gimana dengan issue banyak orang partai dapat izin ekspor benih lobster?

“ Saya rasa sepanjang mereka bisa memenuhi syarat yang ditentukan oleh pemerintah, ya engga salah. Tetapi kalau mereka tidak memenuhi syarat namun izin tetap diberikan. Nah itu baru masalah.

" Gimana kalau izin itu hanya kedok saja untuk mereka bebas ekspor benih?

" Untuk bisa ekspor benih lobster kan harus ada dokumen seperti certifikat origin atau asal benih. Dokumen pelepasanliar lobster ke alam. Dokumen laporan produksi budidaya lobster. Jadi engga mudah. Kalau dokumen itu tidak ada, pasti bea cukai larang benih itu keluar dari pelabuhan eksport"

" Gimana kalau ada permainan di lapangan. "

" Apapun yang namanya permainan itu pasti ilegal. Itu sama dengan menyelundup. Hanya masalah waktu pasti ketangkap. Apalagi antar pengusaha itu bersaing. Kalau ada yang gampang melanggar aturan, pasti mereka ngomong ke media massa. Tetapi gimanapun engga bisa kita terus paranoid, sehingga potensi laut kita hanya jadi syair lagu anak anak. Era sekarang business. Selebihya itu urusan Tuhan"

No comments: