Saturday, May 9, 2020

Mungkinkah Indonesia bisa jadi negara industri?



Beberapa tahun lalu ada teman minta bertemu untuk diskusi. Dia staf Ahli Menteri. Saya kadang tidak tahu harus bagaimana bicara dengan mereka yang dikatakan ahli. Karena penilaian akademis itu sudah membuat saya merasa tidak pantas berbiskusi dengan mereka. Saya, jangankan S3, S1 pun tidak bisa lulus. Sebagai pengusaha seumur hidup saya sangat bergantung dengan mereka yang ahli lulusan universitas terbaik. Berkat mereka yang ahli itu saya bisa tidur nyenyak. Saya tinggal bilang, saya maunya tekhologinya, marketnya, bisnis proses begitu seperti saya mau. Mereka menyimak, dan setelah itu mereka datang lagi ke saya dengan konsep yang komprehensif. Sangat terpelajar dan sistematis pola berpikir mereka menterjemahkan visi dan maunya saya.

Tetapi karena teman, akhirnya saya penuhi kemauannya untuk bertemu, berdiskusi. Kami bertemu di sebuah cafe yang saya tentukan. Karena kebetulan saya ada janji dengan mitra saya di sana “ Bagaimana membangun industri yang berkesinambungan di Indonesia. Karena pertumbuhan industri di Indonesia lambat sekali. Kalaupun ada tumbuh, pemainnya itu itu saja. Singkatnya, kita ingin Industri tumbuh by design.” Katanya mengawali diskusi. 

“ Saya bukan ahli untuk menjawab pertanyaan kamu. Tapi kalau ingin mendengar pendapat saya sebagai praktisi , maka saya akan jawab. “

“ Ya saya justru ingin mendengar pendapat kamu sebagai praktisi.” Katanya.

“ Sebagai praktisi saya sederhana saja berpikir. Saya akan bangun industri kalau ada market. Tetapi itu juga harus memperhatikan apakah cost produksi bisa lebih murah dibandingkan saya impor.”

“ Mental pedagang ? Katanya tersenyum sinis.

“ Jangan rendahkan mental pedagang. Semua kegiatan jasa dan industri, itu karena berawal adanya mental dagang. Apapun dilakukan dengan mental dagang, pasti efisien dan make money. ingat itu.”

“ OK saya setuju. Lanjut aja penjelasannya." Katanya tersenyum

“ Kalau proses produksi memang costnya lebih murah. Itupun saya harus tahu apa penyebanya? Apakah karena upah murah, bahan baku tersedia, jasa logistiik yang murah. “ 

“ Kalau karena upah murah ? Katanya

“ Ya saya akan bangun industri berbasis upah murah. Sederhana saja.”

“ Kalau bahan baku murah ?

“ Ya saya bangun industri hilir dengan beragam produk.  Sederhana saja.”

“ Kalau jasa logistik murah? 

“ Saya akan bangun industri antara agar bisa menjadi supply chain ke pasar industri utama. Sederhan saja.

“ Kalau upah murah, bahan baku tersedia, jasa logistik murah. Gimana ?

“ Saya bangun semua jenis industri, dari industri kaleng  kaleng yang mengandalkan upah murah, sampai industri downstream dan industri antara sebagai suplly chain global. Sederhanakan.”

“ Ya sederhana. Artinya kalau ingin membangun negara industri maka tiga hal itu harus tersedia atau salah satu harus ada. Upah murah, bahan baku dan jasa logistik murah. “ Katanya menyimpulkan.

“ Upah kan engga bisa terus murah. Pasti akan naik.” Katanya.

“ Upah itu berkaitan kebijakan pemerintah. Orang protes soal upah karena pendapatan mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan dasar mereka untuk hidup layak. Nah kalau pemerintah bisa membuat kebijakan disparitas harga antara kelas dan wilayah, yang sesuai dengan penghasilan mereka, tentu tidak mungkin ada yang protes upah murah. Contoh orang Jateng tidak ada masalah terima gaji Rp. 1.800.000 per bulan. Karena bagi mereka cukup. Berbeda dengan upah di Jawa Barat, Rp. 1,8 juta jelas engga cukup karena harga kebutuhan naik. Kalaupun gaji dua kali lipat naik juga masih murah bila produktifitas naik 4 kali. Begitu berhitungnya. Nah kalau tidak bisa mengendalikan harga, ya tingkatkan skill pekerja agar walau upah naik tetap saja murah. Sederhana saja.” Kata saya.

“ OK. Soal bahan baku dari SDA. Kita kan engga bisa karena indusri  bahan baku kita jual murah. Apalagi peluang ekspor ada yang harganya lebih baik “ Katanya.

“ Loh kamu sekarang bicara atas nama Pemerintah atau pedagang?Saya mengerutkan kening.

“ Ya pemerintah tetapi ini soal keadilan?

“ Oh adil. “ Saya mengangguk dan tersenyum. “ Keadilan itu datang dari pemerintah, lewat aturan. Pemeritah tinggal pilih, mau focus membangun industri dan kemandirian atau hanya jadi pedagang jual bahan baku. Ingat, nilai tambah industri bukan hanya harga, tetapi juga menampung angkatan kerja, terbangunya supply chain dan pengaruh berganda terhadap sektor lain seperti asuransi, perbankan, transfortasi, dan lain lain.” kata saya.

“ Lantas gimana konsep keadilan terhadan harga bahan baku ?

“ Gampang saja.  Pemerintah tetapkan harga jual komersial sesuai  harga pasar international, dan jual kembali kepada industri dengan harga lokal. Kalau harus subsidi ya subsidi saja. Toh itu bukan uang hilang. Pada akhirnya nilai tambah dari hadirnya industri itu akan mendatang pajak berganda dari semua sektor. Sederhana kan.”

“ Gimana kalau engga ada uang untuk subsidi? 

“ Ya beri insentif tarif seperti kurangi pajak. Simpel aja. “ 

“ Ok, Gimana dengan logistik. Kan logistik kita masih rendah ratingnya?

“ Kalau sistem logistik belum begitu bagus, ya bangun kawasan industri yang dekat kepada lingkungan strategis dan dilengkapi dengan fasilitas logistik yang terpadu.”

“ Bisa jelaskan konkritnya gimana ?

“ Contoh lingkungan strategis kita di wilayah Timur adalah pacific dan di Barat dan Tengah, laut china selatan. Di Timur seperti Sulawesi, Maluku, bangun kawasan industri untuk pasar kawasan pacific. Di Barat seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, bangun kawasan industri untuk pasar China, Jepang, Korea, Singapore.

“Gimana caranya mereka mau invest di kawasan itu?

“Di kawasan Pacific itu ada korea, Jepang, Taiwan, AS. Ya, bangun kawasan industri itu dalam kuridor Jepan Asean Free Trade Area dan Korea Asean Free trade area. Untuk AS, gunakan kuridor APEC.  Di wilayah Barat dan Tengah, bangun kawasan industri dalam kuridor China Asean Free Trade Area. Dengan demikian, secara bisnis itu memberikan magnit relokasi industri dari negara maju. Karena tarif di negara mereka dengan di Indonesia sama saja. yang beda, kita ada bahan baku dan upah murah, mereka engga punya itu. Pasti mereka pindahin pabriknya. Kalau engga, mereka akan kalah bersaing di pasar global. Sederhana saja.”

“ Kan udah ada Kawasann Ekonomi Khusus (KEK)” Katanya.

“ KEK itu konsep dari MP3I, era SBY, pendekatannya kepada potensi wilayah atas dasar SDA. Bukan atas dasar lingkungan strategis, dan dalam MP3I tidak ada konsep disparitas harga dan pengendalian inflasi wilayah agar upah tetap murah. Makanya sampai sekarang pemerintah bangun KEK yang begitu luas,  tetapi industri yang hadir sangat sedikit.”  kata saya tersenyum.

“ Sebetulnya masalahnya sederhana ya. Tapi mengapa kita tidak terapkan seperti itu." katanya. Saya hanya tersenyum. Segera saya sudahi diskusi karena teman saya sudah datang di cafe untuk bertemu dengan saya. 

Cara berpikir pejabat pemerintah masih sektoral. Antar pejabat berjalan dengan egonya masing masing. Suka tidak suka mereka juga terpengaruh oleh elite partai yang masih doyan bisnis rente. Padahal political will jokowi sangat besar sekali terhadap terbangunnya industri. Bahkan dia berani membuat paket kebijakan ekonomi yang paling luas dibandingkan presiden sebelumnya. Belum  lagi dia tetap ngotot menggolkan UU Cipta Karya ( Omnibus Law). Tetapi kalau menteri dan kepala Daerah tidak bisa menterjemahkan visinya, ya tetap saja semua kebijakan itu hanya jadi kebijakan, bahkan bisa menimbulkan  atmosfir politik memanas. Tetapi setidaknya geliat pembangunan kawasan industri dengan menerapkan lingkungan strategis sudah nampak di Sulawesi untuk downstream nikel. Ini akan beproses. Hanya masalah waktu kita akan jadi negara industri yang disegani di kawasan kita.

No comments: