Friday, May 15, 2020

Saudi di tengah perubahan...


Kalau dilihat dari daftar peserta yang hadir pada forum the Future Investment Initiative (FII) atau Davos Gurun, jelas mengindikasikan bahwa kepercayaaan dunia Keuangan kepada King of Saudi Arabia ( KSA) sangat besar.  Bintang bintang kampiun bisnis kelas dunia hadir dalam pertamuan itu, seperti CEO BlackRock, Blackstone, SoftBank, Standard Chartered, Credit Suisse. Walau begitu banyak komitment dibuat dalam pertemuan FII tahun lalu itu, namun tidak jelas akan realisasinya. Karena sebagian besar investor dunia belum mendapatkan kejelasan soal pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi dan penangkapan beberapa elite kerajaan dengan alasan korupsi, tapi tanpa proses pengadilan. Termasuk pelanggaran HAM  terhadap Ulama garis keras yang ditangkap atas  perintah Pangeran Salman. 

Waktu diskusi dengan teman, dia mengatakan, “ Dalam forum FII,  KSA gagal menjabarkan arah kebijakan strategis yang bisa memberikan harapan perbaikan ekonomi. Raksasa BUMN Arab Saudi, Aramco, tidak bisa lagi mendanai gaya hidup mewah keluarga kerajaan dan membiayai rakyat yang terbiasa disubsidi. Disamping itu, perang proxy dikalangan internal Kerajaan tidak bisa dihindari. Itu semua karena harga minyak terus jatuh.  Krisis ekonomi  KSA saat sekarang paling parah dalam beberapa dekade terakhir.” 

" Saya bisa maklum. Karena minyak adalah pilar utama ekonomi Arab Saudi dan landasan untuk lepas landas. Menurut data terbaru IMF, penerimaan minyak menyumbang sekitar 85% dari ekspor dan itu hampir 90% dari pendapatan fiskal. Sementara sektor minyak terdiri lebih dari 40% dari keseluruhan PDB. Booming harga minyak dari tahun 2003 hingga 2014 memberi Arab Saudi pertumbuhan yang tinggi, memungkinkan ekonomi tumbuh sebesar 5% per tahun dan produk domestik bruto (PDB) meningkat lebih dari tiga kali lipat. Akibatnya, ekonomi Saudi naik dari peringkat  ke-27 di dunia pada tahun 2003 menjadi yang terbesar ke-19 pada tahun 2014. KSA masuk anggota G20.

Yang pasti adalah ekonomi KSA terbesar di kawasan dan ekonominya mewakili sekitar seperempat dari PDB gabungan kawasan Timur Tengah-Afrika Utara (MENA). Arab Saudi adalah produsen dan pengekspor minyak terbesar di dunia dan sejauh ini memiliki kapasitas produksi berkelanjutan terbesar di dunia sekitar 12,3 juta barel per hari dan juga memiliki kapasitas cadangan terbesar di dunia. Saat kini diperkirakan lebih dari 2 juta barel per hari atau sekitar 70% dari kapasitas OPEC yang tidak digunakan." 

“ Namun, kata teman saya. “ hampir dua tahun setelah jatuhnya harga minyak global, ekonomi Arab Saudi semakin memburuk dan prospeknya tetap tidak pasti. Defisit fiskal melebar. Tahun 2019 defisit APBNnya sudah mencapai USD 50 miliar , atau 10,2% dari PDB. Jadi jauh lebih baik kondisi makro ekonomi Indonesia. Arab Saudi juga mencatat defisit dalam neraca transaksi berjalan, yang untuk pertama kalinya sejak 1999 mencapai $ 41 miliar, atau 6,4% dari PDB pada 2015.  Kini defisit terus melebar. Karena hampir semua barang konsumsi publik di impor. Industri consumer goods engga berkembang.

Menurut laporan World Economic Outlook terbaru IMF, pertumbuhan ekonomi Arab Saudi akan melambat dalam lima tahun ke depan. Ekonomi Saudi  tumbuh sebesar 1,2% pada 2016, terendah dalam tujuh tahun, dan pertumbuhan PDB riil diperkirakan rata-rata kurang dari 2% per tahun antara 2016 dan 2021. Economist Intelligence Unit “memperkirakan defisit rata-rata 10% PDB pada 2016-20, karena gagal memotong belanja untuk  mengimbangi harga minyak yang terus-menerus lemah. " Dalam konteks ini, Fitch Ratings yang berbasis di AS menurunkan peringkat utang jangka panjang Arab Saudi karena perkiraan harga minyak yang lebih rendah.

Sementara itu, cadangan devisa Saudi menurun pada tingkat yang mengkhawatirkan. Saudi semakin bergantung pada penerbitan surat utang untuk membiayai defisitnya. Akibatnya, utang bruto pemerintah secara umum melambung dari 5,8% PDB pada akhir 2015, menjadi 19% pada tahun 2019. Kalau liat trend peningkatan utang broto terhadap PDB, diperkirakan tahun 2021 menjadi 51% dari PDB. Prosesnya sama seperti Venezuela pada awal sebelum collpapse, yang menolak memotong anggaran, tetapi menyelesaikan defisit lewat berutang. Dampak serius dari meningkatnya utang dan tidak bisa memotong anggaran adalah kurs riyal yang dipatok terhadap dollar kemungkinan hanya masalah waktu akan dilepas jadi mengambang. Kalau engga, devisanya bisa jebol.

Masalahnya adalah sebelumnya KSA terjebak dengan permainan gepolitiknya dengan resiko tinggi. Seperti ketegangan dengan Iran, dan perang dengan Yaman dan mengongkosi opisisi di Suriah. Lima tahun belakangan ini, Arab Saudi terus menghabiskan sebagian besar ekonominya untuk pertahanan dibandingkan negara mana pun (13,7% dari PDB, vs 3,3% di AS). Arab Saudi menyusul Rusia untuk menjadi pemboros militer terbesar ketiga.

Di atas segalanya, ketergantungan Arab Saudi kepada minyak juga telah menyebabkan inefisiensi struktural seperti meningkatnya pengangguran di antara warga negara Saudi dan sistem kesejahteraan lewat subsidi yang boros.  Dan ini terus meningkat sampai sekarang. Kalau ini tidak dihentikan. Saudi akan mengikuti Venezuela. Kaya minyak akhirnya tumbang. “

“ Menurut saya, KSA masih punya peluang besar untuk keluar dari resesi. Asalkan proses reformasi ekonomi secara konsisten  diterapkan. “

“ Apa itu ?

“ Pertama, penarikan utang harus dibatasi, dengan mengurangi defisit lewat pemotongan anggaran. Yang perlu dipotong segera itu adalah subsidi energi. Itu besar sekali. Menurut data 2014 mencapai 9,5% dari PDB atau USD 71,3 miliar. Pangkas itu. Bila perlu hapus total. Kemudian pajak naikkan berlipat. Engga bisa lagi pajak ala kadarnya. KSA harus mau mengubah paradigma ekonomi khilafah yang menjamin rakyat akan kesejahteraan tanpa produktifitas.  Yakinlah, dengan cara itu defisit tidak akan melebar dan utang tidak akan terlalu besar digali.  Nah pada waktu bersamaan KSA harus mau berani melakukan diversifikasi Industri yang tidak lagi bergantung kepada Minyak. Caranya? KSA harus membuka kanal PMA 100%. Arahkan investasi di bidang industri dan pariwista. Ini potensinya besar sekali.

Kedua, KSA harus melepaskan diri secara gradual dari perdagangan Minyak tradisional, dan menghentikan perang harga minyak dengan pesaingnya seperti Iran dan Rusia. KSA harus masuk ke bisnis offtaker Downstream MIGAS dan Petrokimia , bukan hanya di dalam negeri tetapi juga diluar negeri. Cara KSA investasi kilang dan Petrokimia di China, itu bagus untuk mendapatkan captive market dan cross risk terhadap jatuhnya harga minyak. Kalau bisa juga dilakukan di Indonesia yang merupakan pangsa besar akan downstream migas dan petrokimia. Ini bertujuan agar KSA mendapatkan value bisnis oil and gas yang stabil. Karena harga downstream terutama Petrokimia dari minyak nafta tidak begitu terpengaruh atas jatuhnya harga minyak mentah. 

Ketiga, KSA harus masuk secara penuh dalam bisnis energi yang terbarukan. Misal, KSA bisa masuk ke industri Baterai. Indonesia banyak bahan bakunya. Itu bisa dijajaki dalam rangka diversifikasi ekonominya. Saat sekarang itu sangat mungkin. Karena uang masih banyak. Tetapi kalau terlambat, memang uang akan cepat habis dan Saudi akan jadi sama seperti Venezuela “ Kata saya

“ Usul kamu itu sudah ada di kepala Elite KSA. Hanya saja setiap reformasi ekonomi, proses politik akan alot dan menyakitkan. Reformasi ekonomi berpotensi membawa risiko sosial dan politik. Ia bisa memicu kebencian di antara beberapa segmen masyarakat seperti pengangguran muda, pengusaha statusquo, dan kelompok agama yang biasa hidup dari donasi. Belum lagi ketua suku yang jadi raja kecil di daerah belum tentu mau dengan adanya reformasi. Kalau mereka berontak, bubar tuh KSA.  Salah sedikit, bisa chaos politik dan reformasi pasti gagal total.” Kata teman saya.

“ Ya benar. Bagaimanapun perkembangan di Arab Saudi diawasi dengan ketat oleh seluruh dunia, karena kegagalan reformasi ekonomi akan memiliki dampak serius secara regional dan internasional. Semoga sukses reformasi ekonomi KSA "

No comments: