Friday, May 8, 2020

Logam Tanah Jarang

Anda mungkin bertanya tanya, mengapa China yang idiologi komunis bisa menjadi kapitalis dan menarik begitu banyak investor. Bahkan semua perusahaan industri yang terdaftar dalam 500 fortune pasti punya pabrik di China. Dari industri pesawat terbang seperti Boeing punya manufaktur nya di China. 90% produksi Iphone diproduksi di China. Semua produksi merek Samsung, LG Korea, diproduksi di China. GE raksasa bidang industri hight tech dan electro ada di China. Semua produk merek Jepang diproduksi di China. Kehadiran mereka di China sangat cepat sekali. Hanya 20 tahun mereka sudah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi China. Dari kehadiran mereka lahirlah  jutaan supply chain yang merupakan perusahaan lokal dengan melibat ratusan juta angkatan kerja.  Mengapa? hanya satu jawabannya, yaitu China punya bahan baku Rare earth (REE) atau logam Tanah Jarang (LTJ). 

Sebelum saya bahas lebih lanjut soal geostrategis Rare Earth Element ( REE ) atau Logam tanah jarang ( LTJ), kita pahami dulu apa itu LTJ. LTJ merupakan bahan mineral yang mengandung tujuh belas unsur kimia, yang terdiri dari Skandium , itrium dan 15 unsur lantanida (lantanum, serium, praseodimium, neodimium, promethium, samarium, europium, gadolinium, terbium, disprosium, holmium, erbium, thulium, ytterbium, dan lutetium). Skandium ditemukan di sebagian besar deposit unsur tanah jarang dan kadang-kadang diklasifikasikan sebagai unsur tanah jarang.  Unsur tanah jarang sering disebut sebagai "logam tanah jarang." Logam-logam ini memiliki banyak sifat yang serupa, dan yang sering ditemukan bersama dalam deposit geologis. Makanya juga disebut sebagai "oksida tanah langka”

Apa manfaat dari REE ? Hampir keseharian kita tidak bisa dipisahkan dari alat yang dihasilkan karena adanya material RRE. Seperti memori komputer, DVD, baterai isi ulang, ponsel, catalytic converter, magnet, lampu neon dan banyak lagi. Apalagi baterai isi ulang sangat dibutuhkan oleh industri perangkat elektronik portabel seperti ponsel, layar monitor sentuh, komputer portabel, dan kamera. Sejak mewabahnya kendaraan listrik di negara maju sebagai dampak revolusi energi hijau, kebutuhan akan RRE semakin besar. Karena baterai kendaraan membutuhkan bahan baku REE. Kendaraan listrik dalam jangka menengah akan mengalahkan kendaraan BBM fusil. 

Dalam suatu seminar di Luar negeri tahun 2013, saya mendapat wawasan tentang akan terjadi perubahan geopolitik dari minyak ke logam tanah jarang ( Rare earth). Yang membuat saya terkejut dari seminar itu adalah pembicara mengulas kejayaan bangsa yang pernah berkuasa di dunia ini. Pertama adalah bangsa persia. Kedua, adalah bangsa Mongol, dan ketiga adalah Indonesia.  Nah karena disebut nama Indonesia, inilah yang membuat saya terkejut, dan akhirnya membuat saya semangat menyimak seminar ini sampai akhir. Semua tahu bahwa bangsa persia pernah menjadi negara super power di masanya. Mongol juga pernah menguasai lebih setengah bumi ini. Indonesia di masa Majapahit pernah berkuasa sampai ke Vietnam

Dalam konteks geopolitik, pembicara mengulas tentang resource Logam Tanah Jarang yang ada  di dunia. Pertama adalah China, dimana penambangan terbesar di wilayah Mongol.  Kedua, adalah Iran dan Ketiga Indonesia, yang belum diolah. Namun hanya masalah waktu Iran dan Indonesia akan tampil sebagai produsen Logam Tanah Jarang terbesar di dunia. Di saat itu , Iran dan Indonesia akan menghadapi masalah geopolitik dalam konstelasi global yang menginginkan penguasaan sumber daya dari logam Tanah Jarang. Pemain utama yang berebut sumberdaya itu adalah AS dan China, yang keduanya rakus akan logam tanah jarang. 

Sebelumnya sekian decade, geostrategi dan geopolitik berputar putar sekitar perebutan sumber daya oil and Gas , hanya masalah waktu bandul geopolitik akan bergerak ke logam tanah Jarang. Mengapa? karakusan akan oil and gas dulu, akan sama rakusnya  terhadap logam tanah jarang di masa akan datang.  Memang setelah tahun 2013, permintaan minyak menurun, harga semakin turun. itu sejak berkembangnya tekhnologi shale gas.  Karenanya konflik regional mereda tidak seperti era booming minyak. Namun perseteruan akan kembali mewarnai geopolitik setelah permintaan  akan logam tanah jarang semakin meningkat sebagai energi alternatif. Artinya siapa yang menguasai sumber daya RRE atau LTJ, maka dialah penguasa dunia.

Iran
Tahun 2016, saya mendapat informasi dari teman di Beijing bahwa mereka mendapat konsesi tambang Mineral di Iran. Ternyata hasil survey geologis membuktikan seperti apa yang saya dengar pada seminar tahun 2013 itu. Bahwa ternyata Iran mengandung deposit Logam Tanah jarang sangat raksasa. Eksplorasi pertama kali mengidentifikasi Zona Mineral Sangan yang terletak di barat laut Provinsi Khorasan Razavi. Cadangan substansial unsur tanah jarang, ditemukan di zona 12.000 kilometer persegi. "Mereka adalah negara yang sangat kaya akan mineral. Ini jauh lebih besar dari sumber daya  Migas” kata teman saya. 

Iran meluncurkan ingot tanah jarang pertamanya, dengan kemurnian 99%, yang disebut Mischmetal. Ingot, hasil penelitian selama enam bulan oleh Pusat Penelitian Pengolahan Mineral Iran, terdiri dari empat unsur tanah jarang, termasuk serium, lantanum, neodimium, dan itrium, yang semuanya diekstraksi dari tambang di Iran Tengah. Apa itu Mischmetal? itu sangat dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan tabung hampa udara, baterai yang mengandalkan teknologi hidrida logam. Dalam industri logam, ini sebagai sumber pemicu terjadinya percikan api untuk memulai pembakaran dan nyala api, serta untuk meningkatkan kemampuan cetakan dan sifat-sifat mekanis pada campuran metal. 

Iran sejak tiga tahun lalu serius mempelajari metode ekstraksi dan eksploitasi vanadium, galium, nikel, kadmium, dan tungsten dan akan segera memulai produksi ingot dan paduan tanah jarang ini. Mungkin tahun ini akan mulai produksi. Hebatnya walau Iran di Embargo ekonominya, namun kerjasama penambangan dan pengolahan bukan hanya datang dari China (Sinosteel)  yang jelas partner Iran tetapi juga dari berbagai negara seperti Jerman, Denmark, Italia, Australia, dan Jepang. Namun yang terbesar tetaplah China dan AS tidak dapat kesempatan sama sekali memanfaatkan SDA LTJ. Puluhan miliar dolar dibenamkan dalam industri pengolahan Logam Tanah Jarang. 

China
Sekitar 30 tahun lalu, Pemerintah China telah memutuskan untuk menjadikan logam tanah jarang bahan baku strategis dan melarang pihak asing menambangnya. Penambangan logam tanah jarang pertama kali di wilayang Mongolia, dan kemudian meluas sampai ke Xinjiang yang sangat besar deposit logam tanah jarang. Walau begitu Cina hanya memiliki sekitar 30% cadangan global dari tanah jarang. 

Namun China memproduksi ekstrak tanah jarang mencapai 70% produksi dunia. Sebagian bahan tambang logam tanah jarang didapat dari tambang yang mereka miliki di Amerika Utara, Australia, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Afrika Sub-Sahara, yang dikapalkan ke China untuk diolah. China menguasai 90 pasar ekstrak logam tanah jarang dunia. Tahun ini China tengah meningkatkan kuota penambangan tahunan untuk logam tanah jarang menjadi 132.000 ton atau 10 persen di atas rekor tertinggi pada tahun lalu.

Indonesia.
Indonesia memiliki potensi mineral Logam Tanah Jarang (LTJ) mencapai 1,5 miliar ton. Namun, mineral LTJ tersebut belum dimanfaatkan optimal sebagai barang strategis untuk mendukung kegiatan industri dalam negeri maupun menjadi komoditas ekspor. Survey yang dilakukan Badan Geologi, ada 29 lokasi yang berpotensi mengandung logam tanah jarang. Lokasi tersebut di wilayah Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Utara, Pulau Bintan Riau, Kepulauan Anambas Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat.  

Inalum mulai tahun 2019 menggandeng BATAN untuk melakukan studi pengolah LTJ tersebut. Dan rencananya tahun depan Pt. Inalum akan membangun industri logam Tanah Jarang yang rencananya akan bermitra dengan China.

Masalah geopolitik 
Dunia tidak bisa mengandalkan China untuk menjamin pasokan akan LTJ. Kalau dibiarkan maka China akan jadi diktator Industri dan mengontrol dunia. Mengapa ? karena kebutuhan industri hilir akan LTJ di China sangat besar. Cina telah mendominasi produksi logam tanah jarang sejak 1990-an, sebagian besar didorong oleh dua faktor: harga rendah dan investasi yang didukung negara dalam infrastruktur dan teknologi. Pada tahun 2000-an, Cina hampir sepenuhnya menguasai produksi tanah jarang. Dominasi ini tidak dicapai hanya dengan harga. China juga menggunakan kebijakan industri yang dimulai pada 1980-an untuk mengembangkan keahlian dalam ekstraksi, pemisahan, dan penyempurnaan dari tanah jarang. 

Kebijakan industri Cina sebenarnya mencerminkan pendekatan A.S. pada 1950-an dan 1960-an, ketika Laboratorium Ames dan Pusat Informasi Rare-earth (RIC) menggunakan investasi negara untuk mendukung upaya sektor swasta. Sementara dukungan negara menurun dengan cepat di Amerika Serikat (RIC hilang pada tahun 2002), lembaga-lembaga Cina masih terus menguat. Setelah Cina mendominasi produksi, mereka menggunakan harga diferensial untuk memberi keuntungan bagi produsen hilir domestik dibandingkan ekspor. Harga domestik yang lebih murah, serta ketersediaan SDM keahlian , menjadi magnit menarik investor asing ke Cina membangun industri hilir. Semua industri elektronik raksasa  Jepang, Korea, AS, Eropa mendirikan pabrik di China.

China sebagian besar mengendalikan harga, menjaga harga tetap rendah dan membuatnya sulit untuk disaingi. Sudah banyak perusahaan tambang LTJ yang bangkrut akibat ulah China. Seperti contoh,   Perusahaan A.S. Molycorp menguasai tambang California Mountain Pass. Molycorp harus mengajukan kebangkrutan ketika harga jatuh. Perusahaan yang berbasis di Kanada yang sekarang memiliki aset sebagian besar telah memindahkan R&D dan proses pemisahan dan penyempurnaan dari Mountain Pass ke Cina. Begitu cara China menyedot penambang membangun pengolahan LTJ di China.

Jepang, dan Austalia berusaha untuk membuka tambang baru. Sebagai antisipasi kalau China mengembargo LTJ.  Tapi membuka tambang baru juga memakan waktu dan penuh risiko. Dari tiga belas konsesi tambang di Afrika, misalnya, hanya dua yang berproduksi, tiga telah gagal, dan delapan lainnya masih dalam tahap sangat awal. Jepang menemukan sumber daya mineral LTJ di dasar laut. Tetapi penambangannya akan sangat mahal dan beresiko. Tapi AS dan Australia terus berupaya mendapatkan pasokan LTJ dari luar China. Pertemuan antara pejabat Pemerintah AS dan Australia telah meresmikan kemitraan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pasokan logam tanah jarang dan mineral penting lainnya dari luar China.

Dephan AS dan Badan Logistik Pertahanan, telah meminta kepada Lynas Corp yang berbasis di Malaysia untuk menambah kapasitasnya di Texas. Lynas Corp memiliki tambang di Australia dan pengolahan di Malaysia Timur. Menteri Sumber Daya Australia Matt Canavan menyampaikan lembaga keuangan ekspor di AS dan Australia akan mempertimbangkan langkah-langkah baru untuk membantu mempercepat proyek-proyek tambang LTJ.  Yang jelas negara besar di dunia, mulai dari Greenland hingga India, juga telah berupaya mendapatkan sumber pasokan di luar China. Kini pesaing utama China yang memproduksi 30% LTJ dunia adalah Lynas.

Selain China, kekuatan tersembunyi sumber daya LTJ itu adalah Indonesia dan Iran. Kedua negara ini sudah mulai membuka pintu untuk penambangan LTJ. Namun baik Iran maupun Indonesia telah mengeluarkan UU yang mengharuskan pengolahan semua sumber daya mineral dilakukan di dalam negeri sebelum di ekspor. Umumnya, unsur tanah jarang dijumpai di mineral ikutan, seperti bastnaesit, monasit, xenotim, apatit, dan zirkon. Pada konsentrat nikel, timah, emas, almunium unsur tanah jarang banyak terdapat. Dengan melarang ekspor konsentrat, itu artinya sumber bahan baku ikutan berupa LTJ tidak bisa lagi didapat oleh smelter yang ada di luar negeri. 

Dengan demikian, semua industri pengolahan mineral di luar negeri yang membutuhkan bahan baku untuk indusri hilirnya harus membangun smetel di Indonesia. Yang paling agresif melakukan kerjasama pembangunan smelter tambang mineral di Indonesia adalah China. Di sinilah terjadi pertarungan lobi politik tingkat tinggi antara dua kekuatan, yaitu AS dan China ( bersama sekutunya Eropa dan Australia) untuk mendapatkan pengaruh di Indonesia. AS dan Eropa termasuk Jepang, jelas tidak ingin membangun smelter di Indonesia karena mereka ingin menghidupkan industri dalam negerinya. Sementara Jokowi tetap bersikeras. Stop. 

Protes Eropa ( tentu di belakangnya AS) terhadap larangan ekspor bahan mentah mineral oleh Indonesia adalah bukti bahwa AS sedang menekan Indonesia. Mengapa? AS dan sekutunya tentu tidak mau tergantung dengan China akan kebutuhan LTJ. Kalau AS tidak  menguasai sumber daya LTJ selain Chian, tentu sangat beresiko bagi masa depan industrinya. Karenanya setelah Jokowi dilantik sebagai presiden tensi politik memanas,  khususnya sentimen anti China meluas. China tidak mau tinggal diam. China menawarkan dukungan financial kepada pemerintah Jokowi untuk pembangunan infrastruktur di luar jawa , dan berjanji akan mengembangkan indusri hilir tambang mineral untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. 

Dan AS tidak menjanjikan apa apa kecuali mengancam Jokowi melalui kekuatan proxy nya di dalam negeri. Mengapa AS menolak kebijakan larangan ekspor bahan mentah tambang? AS sudah punya pusat industri pengolah LTJ di Malaysia dan Eropa. AS berharap bahan baku tambang LTJ dikirim ke Malaysia dan Eropa. Dan kemudian dieskpor ke AS. Ini memang batu sandungan bagi bangkitnya industri hilir tambang di Indonesia, khususnya LTJ. Iran agak beruntung. Karena proxy AS di Iran sejak pembunuhan Qasem Soleimani menjadi alasan bagi intel Qud untuk menangkapi mereka. Sehingga program Iran menjadi kekuatan baru di masa depan berkat sumberdaya LTJ tidak mengalami kendala serius dari dalam negeri. Namun hambatan serius datang dari luar. Tahun ini AS mulai head to head dengan Iran. Ketegangan baru terjadi di Iran dengan terbunuhnya Qasem Soleimani.  AS sudah mengirim Armada kapal Induk dan 1500 marinir. Perang terbuka mungkin saja terjadi...

Kesimpulan.
AS dan Barat harus menyadari politik hegemoni melalui kekerasan dan embargo sudah bukan jamannya. Kini saatnya collaborate, dan synergy. Sebagaiman China, Barat dan AS harus mau merelokasi industrinya ke Indonesia dan Iran agar terjadi keseimbangan dengan China. Pada waktu bersamaan China harus mengubah sifat ingin mengontrol industri hilir dengan mematikan pesaing di hulu. Kalau itu terjadi , maka kejayaan bangsa Mongol, Persia, Majapahit, akan mengulang sejarah dunia di era modern, tetapi dengan cara cara yang egaliter dan penuh cinta. Sudah saatnya kita semua sebagai bagian dari penduduk dunia mengutamakan cinta dalam membangun, dan bersaing secara sehat.

Bagi Indonesia, semoga faktor geopolitik ini disadari oleh semua anak bangsa agar tetap bersatu. Jangan sampai kita diadu domba yang pada akhirnya pihak asing yang untung. Yang penting, pengalaman era kejayaan MIGAS di era Soeharto di bawah aneksasi AS ( Barat dan sekutunya)  yang memaksa kita hanya menjual minyak mentah tanpa kemandirian dibidang kilang BBM, jangan terulang lagi. Kedepan kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan focus kepada nilai tambah dan kedaulatan terhadap SDA untuk kepentingan rakyat banyak. Karenanya industri pengolahan LTJ adalah mutlak dilakukan di dalam negeri dan termasuk industri hilirnya. Siapapun jadi presiden setelah Jokowi , platform ini harus jadi pijakan. 

No comments: