Sunday, May 10, 2020

Di balik AMDAL.


Waktu ngobrol dengan teman di acara kondangan pernikahan putra dari perwira polisi. Teman ini seorang pengusaha yang sedang membangun proyek infrastruktur pelabuhan khusus.  Menurutnya saat sekarang semua izin investasi sangat mudah didapat. Semua aturan jelas, lengkap dengan batas waktu yang harus dipenuhi oleh aparat di tingkat pusat maupun daerah dalam memperoses izin tersebut. Ini merupakan langkah revolusioner yang bisa dilakukan Jokowi. Hampir tidak ada yang berani mempersulit dengan alasan minta uang.  Tapi ada yang sulit dan mungkin sangat sulit diprediksi endingnya.

"  Apa itu ? Izin AMDAL. Analisa mengenai Dampak Lingkungan. "

" Mengapa ? Kan udah ada UU dan aturannya.

" Walau proses mendapatkan AMDAL tersebut tertuang dalam UU dan Peraturan yang jelas. SOP yang ketat dengan melibatkan masyarakat. LSM  atau stakeholder dalam proses pengambilan keputusan. Namun tidak menjamin keputusan yang telah dikeluarkan oleh otoritas sudah merupakan keputusan final."

" Mengapa ? 

" Kapan saja kalau ada pihak yang menggugat maka pemerintah dapat membatalkan AMDAL yang telah ada dan sekaligus membatalkan izin investasi. Tentu pembatalan itu dasarnya adalah keputusan pengadilan. Disinilah permainan di create. "

" Gimana mereka create permainannya?

" Para penggugat itu mendapat masukan dari pejabat pemerintah sendiri. Strategi bagaimana memenangkan perkara di pengadilan juga di atur oleh pejabat pemerintah secara silent operation. Para LSM yang ahli memprovokasi masyarakat diminta melaksanakan tugasnya dengan baik. Media massa juga di loby agar membantu menyebar luaskan informasi soal gugatan ini. Opini publik dari kalangan universitas dicreate agar hanya ada satu suara bahwa investasi tesebut melanggar AMDAL  

" Lantas untuk apa ini semua di lakukan? tanya saya.

" Ya karena uang. Bagi pejabat Daerah yang menginginkan ada uang lendir masuk dari suatu proyek besar maka yang paling aman adalah memprovokasi masyarakat melalui LSM untuk melakukan gugatan lingkungan atas izin yang telah dikeluarkan. "

" Darimana uangnya? 

" Bisa dengan cara memeras investor. Biasanya hanya gerakan kencil, investor langsung ajak damai. Dari damai inilah uang ditebar. Secara legal pejabat pemerintah bersih karena yang dapat ganti rugi adalah LSM yang mewakili masyarakat. Namun di belakang itu sebetulnya ada deal bagi bagi dengan LSM. Setelah bagi bagi maka urusan selesai. Keadaan akan sunyi kembali dan proyek tetap jalan. Masyarakat yang demo, hanya dapat uang kecil."  

" Terus..."

" Tapi keadaan menjadi runyam bila gugatan lingkungan karena pesanan dari kompetitor. Targetnya adalah membunuh investor yang sudah mengantongi izin,  Dan memastikan dia tetap unggul dalam persaingan. Kalau ini terjadi maka keadaannya sama seperti antar juragan perang sawer mendapatkan artis dangdut tidur dalam pelukannya. Pertarungan itu tidak ada yang menang kecuali artis dangdut yang semakin banyak saweran sampai akhirnya salah satu kehabisan uang di dompet. Yang menang adalah paling banyak sawerannya."
" Wow luar biasa ya. Udah kaya sindikat. "

" Para  tikus besar di era Jokowi memang semakin kehilangan celah merampok APBN dan rente. Namun melalui semangat demokrasi tikus besar itu  menggunakan patron (LSM ) dan massa untuk melemahkan legitimasi keputusan pemerintah agar dapat uang dengan mudah tanpa tersentuh hukum. "

" Sudah saatnya KPK masuk dalam kasus ini. Agar modus operandi seperti ini tidak terjadi lagi. Dan investor tidak merasa berada di rimba belantara para bedebah. Gimana dengan BUMN? Kata saya.

 " Sama saja. BUMN saja bisa jadi pecundang dihadapan mereka , gimana asing? gimana swasta nasional? Mikir dululah kalau mau invest. Sepertinya UU Omnibus Law itu harus disahkan kalau ingin menghilangkan proses yang brengsek ini."

No comments: