“ Kamu tahu siapa diktator bisnis era sekarang ? tanya saya keteman waktu kami buka bersama.
“ Emang ada diktator dalam bisnis ? Bukannya pasar bebas.?”
“ Ada “
“Apa itu ?
“ Satu, Mircrosoft dan satu lagi Big Pharma. Kedua jenis bisnis ini lewat ekosistem bisnis mampu seenaknya merelease produk baru dan secara ekosistem orang dipaksa untuk membeli dan yang lama ditarik lagi lewat update. Engga ada yang bisa protes.
“ Kenapa ?
“ Microsoft membuat aturan sendiri bagi usernya. Engga boleh didebat. Pharmaci dapat backing dari WHO untuk membuat aturan. Melanggar SOP dari WHO kena Banned”
“ Oh pantes, Eric Thohir mengatakan betapa dia terkejut ternyata 90% bahan baku obat tergantung pada impor.”
“ Kalau orang terbiasa main di bursa, engga kaget. “
“ Kalau microsoft ok lah. Tetapi kalau big pharma masa iya begitu?
“ Mari kita lihat data. Dari tahun 2000 hingga 2018, 35 perusahaan farmasi besar melaporkan pendapatan kumulatif $ 11,5 triliun, laba kotor $ 8,6 triliun, EBITDA $ 3,7 triliun, dan laba bersih $ 1,9 triliun, sementara 357 perusahaan S&P 500 melaporkan pendapatan kumulatif $ 130,5 triliun, laba kotor $ 42,1 triliun, EBITDA $ 22,8 triliun, dan laba bersih $ 9,4 triliun. Kalau trend pendapatan perusahaan non pharmasi cenderung menurun akibat krisis namun perusahaan pharmasi terus meroket keatas.
Dalam model regresi bivariabel, margin laba tahunan rata-rata perusahaan farmasi secara signifikan lebih besar daripada perusahaan S&P 500. Margin laba kotor pharmasi 76,5% sementara non pharmasi 37,4%. Perbedaan, 39,1% atau laba kotor perusahaan pharmasi dua kali lipat lebih dibandingkan dengan bisnis non pharmasi. Yang hebatnya dari total pendapatan 35 perusahaan raksasa pharmasi dunia itu 60% berasal dari 10 industri pharmasi. Dari 10 itu, 6 adalah perusahaan Amerika. Hanya satu dari China. 2 Swiszerland, 1 lagi Denmark.”
“ Apakah mereka itu benar benar raksasa?
“ Saya ambil contoh Johnson & Johnson, yang merupakan raksasa yang berada di puncak piramid bisnis pharmasi. Dia punya MarCap sebesar USD 395 billion. Itu hampir sama dengan PDB Thailand. Bayangkan, kehebatan mereka. Hanya satu perusahaan saja tetapi kedigdayaan assetnya sama dengan PDB satu negara.”
“Wah hebat banget. Kenapa bisa begitu hebatnya mereka ?
“ Mereka menguasai dari sejak riset, pengadaan bahan baku, sampai ke pada distribusi. Praktis mereka menciptakan ekosistem bisnis yang memaksa orang harus membeli kalau orang pergi ke dokter atau ke rumah sakit.”
“ Apalagi adanya tekanan dari WHO agar seluruh negara memberikan sistem jaminan kesehatan nasional, yang tentu mengikuti SOP-WHO- seperti kasus pandemi COVID-19-, maka industri pharmasi lah sebenarnya penguasa dunia. Mereka menjadi sandaran bagi semua manusia di planet bumi ini, yang tentu pada waktu bersamaan menjadi ancaman. Dengan cara itulah mereka menciptakan laba dan semua bisnis yang menjadi bagian dari ekosistem pharmasi pasti tajir. “ Katanya seperti teori konspirasi.
“ Itu kalau kita lemah.”
“ Terus gimana menghadapi mereka agar kita bisa mandiri ?
“ Karena ini berkaitan dengan bisnis maka hadapi secara bisnis, namun harus ada dukungan polical will dari pemerintah. “
“ Secara bisnis gimana menghadapinya ?
“ Tiga peluang yang sangat mungkin kita bisa mandiri. Pertama. Indonesia merupakan pasar obat obatan terbesar di Asia Tenggara. Perbulan total penjualan obat sebesar USD 3,43 milliar atau setara dengan Rp. 28 triliun. Sebagian besar atau 90 % obat obatan itu adalah produk import. Ini peluang bagi kita untuk membangun kemandirian indusri. Pasar ada, apapun bisa dilakukan. Karena ada uang berputar. Kedua, sistem jaminan kesehatan nasional seperti BPJS adalah potensi pasar besar dan captive bagi pemicu lahirnya industri pharmasi nasional. Dengan captive market seperti itu, berapapun dana pasti bisa diadakan untuk pembiayaan industri pharmasi. Ketiga, akibat COVID 19, Political will dari Jokowi sudah ada agar kita mandiri. Ya dengan tiga hal itu, kita bisa menghadapi hegemoni big pharma.” kata saya.
“ Apa mungkin bisa ?
“ Kita ambil contoh India dan China. Mereka sangat paham pentingnya kemandirian di bidang pharmasi. Maklum, kalaulah kedua negara ini pharmasinya tergantung asing, dengan penduduk diatas 1 miliar maka bisa bangkrut mereka oleh kapitalis pharmasi. Itu sebabnya industri kimia bahan baku obat di china dan India sangat longgar regulasinya dan pabrikan mendapat subsidi dari pemerintah agar industri pharmasi bisa menghasilkan produk yang efisien. Bukan rahasia umum bahwa hampir setiap obat sintetis yang dapat dibeli di dunia ini secara legal atau ilegal , mulai dari katarsin hingga obat steroid sampai obat jantung yang diresepkan dokter, berasal dari China dan India. Bahkan melalui situs web china, anda bisa memesan fentanil sejenis obat aditif penyebab kematian bila overdosis. “
“Wah hebat.!
“ Iran juga termasuk negara yang mandiri dalam hal pharmasi. Lembaga riset Iran termasuk yang paling maju dalam meneliti sel punca. Itu bisa dimaklumi karena Iran diembargo secara ekonomi atas prakarsa AS. TNC bidang Pharmasi salah satu yang solid berada dibelaka negara AS dan Eropa yang merupakan pemilik paten obat. “ Kata saya.
“ Di China “ Kata saya melanjutkan “ pengobatan tradisional dilegitimasi oleh Negara dan dilaksanakan secara sistematis. Pendidikan dokter di berbagai universitas mengajarkan secara utuh pengobatan tradisional ini. Seperti Guangzhou University of Chinese Medicine (GZUCM) yang merupakan universitas terbaik di China yang menyediakan program dokter dan specialis khusus pengobatan cara tradisional. Mereka juga memberikan materi pelajaran mengkombinasikan cara Barat dan China, yang made in China. Kini ada 113 negara didunia mengirim mahasiswa kedokterannya belajar di berbagai universitas di China. Dunia international mengakui kehebatan china menjadikan kekuatan akar budaya sebagai sebuah system kemandirian khususnya dibidang kesehatan.
Untuk memperluas variasi obat obat yang berstandar Lab , pemerintah menyediakan pusat riset terbaik dibidang herbal dan memberikan dukungan dana riset kepada universitas. Dengan demikian China memiliki standard klinis modern untuk menjadikan herbal sebagai obat modern berstandar FDA, sehingga obat herbal China bisa masuk prime market seperti Apotik dan toko obat terakreditasi internatiobal, dan bersaing dengan obat obatan dari industry Pharmasi berkelas TNC. Mungkin bagi anda yang American or western minded akan mengatakan herbal atau jamu adalah keterbelakangan. Tapi tahukah anda, pasien Rumah Sakit Herbal di bawah Guangzhou University of Chinese Medicine (GZUCM) banyak didatangi pasien dari luar negeri china.” Kata saya.
“ Sementara kita, pabrik Jamu Nyonya Meneer dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga karena gagal bayar hutang, saya sudah menduga bahwa ini akan terjadi. Hanya masalah waktu saja. Sebelumnya sudah banyak industri jamu baik sekala modern maupun rumahan yang gulung tikar. Itu sejak ada obat generik, minat orang untuk menjadikan jamu sebagai alternatif berkurang. Karena apabila sakit biaya obat tidak begitu mahal. Jadi tidak diperlukan jamu untuk menjaga kesehatan dan juga tidak di perlukan jamu sebagai obat alternatif. Puncaknya ketika berlakunya SJSN dimana berobat gratis asalkan ikut BPJS dan orang miskin ditanggung preminya , jamu semakin tidak mendapat tempat sebagai obat alternatif. SOP BPJS mengharamkan obat tradisional sebagai alternatif obat modern.
Tapi entah mengapa pemerintah tidak melihat potensi BPJS untuk memacu kemandirian di bidang pharmasi.” katanya geleng geleng kepala. “ Menurut teman saya yang bisnis pharmasi, dana sponsor dari industri pharmasi itu mengalir sampai ke DPR yang merancang UU kesehatan dan BPJS. Itu triliunan rupiah uang ditebar untuk para elite politik. Makanya sangat sulit membabat mafia pharmasi ini. Mainnya halus dan kejam. Setiap upaya kemandirian industri pharmasi lokal pasti hanya masalah waktu akan tumbang karena kebijakan pemerintah. Pailitnya Jamu Nyonya Meneer adalah puncak dari gagalnya produk lokal bersaing dengan produk import, yang merupakan bukti bahwa pemerintah bagian dari ketidak mandirian bidang pharmasi.
Jatuhnya industri herbal bukan hanya di Indonesia tapi juga di AS. Walau pengobatan herbal digandrungi oleh sebagian besar rakyat AS yang tidak terjangkau system layanan kesehatan. Namun , kecaman dari NGO yang berafiliasi Industri Pharmasi sangat gencar. Mereka berusaha melobi pemerintah untuk melarang kegiatan pemasaran herbal dan bahkan industry obat tradisional sengaja dihalangi lewat kebijakan ketat dari FDA. Terjadi pro dan kotra dimasyarakat soal ini. Sampai kini terus berlangsung ditengah kebingungan pemerintah memberikan solusi comprehensive di tengah ketidakberdayaan anggaran kesehatan. Ya, Indonesia sama dangan AS yang sudah dalam cengkraman mafia pharmasi dan sulit untun bisa lepas.
Sebetulnya keadaan China tidak jauh beda dengan ndonesia. Bahwa Indonesia sangat kaya akan keaneka ragaman obat obatan tradisional dan telah pula diyakini oleh rakyat sejak ratusan tahun sebagai pengobatan yang efektif. Namun, selama berpuluh tahun industri jamu tidak didukung berkembang sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Tidak ada program by design dari pemerintah menjadikan obat tradisonal mampu bersaing dengan obat dari TNC. Di Indonesia tidak ada Universitas mengajarkan mata kuliah Jamu dan menjadikan herbal sebagai standar pengobatan modern. Tidak ada pusat riset pemerintah di bidang jamu untuk melegitimasi jamu sebagai obat resmi berstandard SOP Rumah Sakit. Tidak ada jamu yang bisa masuk obat pasar first grade? Apakah ada Rumah Sakit merekomendasikan kepada dokter agar menulis jamu dalam resep.? Tentu tidak mungkin.
Karena bukan rahasia umum lagi, dibalik kebijakan pelayanan kesehatan terdapat agenda konspirasi antara Pemerintah , Indusri Pharmasi ( TNC), Rumah Sakit, Perusahaan Asuransi, untuk mengeruk keuntungan dari sisakit. Ya sebuah bisnis yang melibatkan triliunan rupiah , dan tentu hanya memperkaya segelintir orang, dan potensi besar pengobatan tradisional Indonesia harus menerima fakta kalah di lindas zaman. Jamu Nyonya meneer adalah bagian dari saksi bisu bahwa dalam banyak hal kita kalah. Kita sulit meniru China, India atau Thailand, atau Iran. Mereka mandiri dari segi kesehatan karena mereka lebih tahu bagaimana seharus mengobati sakit rakyatnya. “ Katanya pesimis.
Saya mencium aroma teori konspirasi. Padahal hakikatnya sederhana. Political will. Masalah pharmasi harus diselesaikan secara politik. Kalau engga, kita tidak bisa menghindari ekosistem bisnis yang memeras. Political Will Jokowi sudah ada. Semoga dengan adanya COVID-19 ini mendulang hikmah dengan adanya reformasi total tata niaga dan industri pharmasi.
No comments:
Post a Comment