Saturday, May 9, 2020

Jualan emosi politik.



Namanya Karmad. Kepalanya sedikit botak. Selebihnya ditumbuhi rambut tipis. Beroman keras dengan rahang lebar. Alis tebal. Kalau berbicara maka semua orang akan terdiam. Dia memang penjual ide terbaik dan memukau siapa saja lawan bicaranya. Dulu dia aktifis. Pendidikannya tidak tinggi. Mungkin karena terlalu sering ikut diskusi paham kebangsaan dengan para intelektual, akhirnya diapun terlatih memahami nilai nilai kebangsaan. Diapun masuk dalam politik. Memahami permainan politik.

Diapun terpilih jadi anggota DPR. Sudah dapat ditebak, kehidupanpun berubah. Kalau dulu nampak lucu pakai jas dan dasi karena setiap hari naik bus, namun kini nampak pas karena dapat jatah mobil dan supir. Diapun sudah sulit dihubungi. Dia sibuk teramat sibuk. Belakangan, saya dengar kabar bahwa dia termasuk orang yang tersingkir dari kepengurusan Partai. Dia menuduh Partai lupa kacang dengan kulitnya.

Lama kemudian, Karmad tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Kalau dulu sering tampil di TV, tapi sekarang, HP pun sudah tidak bisa dihubungi. Dia tenggelam ditelan bumi. Entah mengapa , satu waktu , saya mendapatkan telp dari dia. “ Aku harus bertemu dengan kamu, nih. Di mana kita bisa jumpa “ Suaranya masih seperti dulu. Sayapun berjanji untuk bertemu setelah saya pulang ketanan air. Sebulan kemudian , saya bertemu dengannya di sebuah Hotel berbintang. Dia sendiri yang tentukan tempatnya. 

Kami memilih duduk di lounge. Kesan pertama ketika saya berjumpa dengannya. Dia sudah jauh berubah. Tidak seperti dulu lagi. Tidak nampak kepiawainnya menjual ide. Suaranya tidak lagi meledak ledak. Dia seperti orang habis dicuci otak. Padahal idealismenya lah dulu yang membuat saya betah berlama lama berdiskusi dengannya. Saya merasa kehilangan Karmad ,sahabat saya. SIapakah gerangan sekarang yang ada di depan saya ?

“ Saya akan mendirikan Partai baru “ Katanya, Saya mulai berpikir dia akan mulai bicara tentang program program mulianya. Saya siap mendengar.

“ Apa pendapat kamu ? Tanyanya.

“ Bagus.! “ seruku untuk menguatkan niatnya

“ Apa nama partainya ?

“ Ah itu tidak penting ? Jawabnya singkat seakan tidak peduli.

“ Mengapa ? Bukankah nama partai melambangkan platform perjuangan” Kataku

“ Apapaun platform perjuangan , tidak akan didengar oleh rakyat, Nasionalisme, Pluralisme, Sosialisme, Komunisme, Keadilan, Kesejahteraan, Perdamaian, agama, entah apalagi. Itu semua omong kosong. Produk usang kalau tujuannya untuk menarik massa sebagai konsumen. Semua jargon partai politik telah menjadi paradox. Nasionalisme melahirkan penyembahan kepada asing. Keadilan , menimbulkan perbedaan yang kaya dan miskin semakin lebar. Sosialisme , membuat rakyat dan petani kehilangan daya untuk berproduksi dan berkonsumsi. Demokrasi , melahirkan tiran baru untuk melegitimasi penghapusan subsidi. Kesejahteraan, penggusuran rakyat miskin perkotaan dan mahalnya biaya berobat dan pendidikan. Perdamaian, premanisme dimana mana. Agama, hanya melahirkan tokoh agama selebritis yang kaya raya dengan kehidupan glamor, sementara mereka setiap hari berbohong kepada umat dan dirinya sendiri. Dengan itu semua, rakyat tidak akan percaya lagi dengan apapun isu yang diusung oleh partai. Ibarat barang dagangan , packaging dan harga tidak lagi menarik konsumen untuk membeli karena kualitasnya hanya membohongi konsumen. “ Katanya dengan suara datar.

“ Jadi apa tujuan kamu buat partai. “

“ Berkuasa dan uang ! “ Katanya tegas tanpa sungkan.

“ Apa yang kamu tawarkan kepada rakyat ? tanyaku dengan malas.

“ Tidak ada ! “ Dia tersenyum dan saya bingung. “ Camkan ini baik baik “ katanya sambil mengisap rokok dalam dalam “ Semua orang bikin partai karena ingin berkuasa. Titik. Tidak usah bicara tentang idealisme. Ini era demokrasi di mana politik adalah lahan hidup baru untuk cepat kaya“ sambungnya.

“OK lah. Tapi bagaimana kamu dapat menang di tengah kekuatan partai yang sudah exist? Tanya ku dengan sedikit agak keras.

“ Kalau konsumen tidak lagi mempercayai barang di etalage. Kalau konsumen sudah malas datang ketoko untuk melihat dan membeli barang. Kalau konsumen sudah malas baca brosur. Kalau konsumen sudah muak dengan semua barang yang ditawarkan. Maka saya ingin bertanya dengan kamu sekarang. Apa yang harus dilakukan.? Inilah yang harus kutahu jawabannya dari mu. Kamu kan pengusaha. “ Saya sempat bingung dengan pertanyaannya. Seakan keluar dari topic diskusi. Saya bertanya , kok malah dia pula yang bertanya.

“ Jangan jual barang.” Jawabku singkat. Mungkin asal jawab tanpa dasar teori apapun.

“ tepat sekali. Inilah yang aku suka dari kamu. Selalu menjawab dengan realistis “ dia tersenyum.

“ Jadi apa yang akan kamu jual ? kalau barang tidak ada ? Kejarku lagi.

“ Jual emosi. “ dia tertawa dan sekarang benar benar tertawa keras. Saya bingung.

“ Emosi apa ?

“ Emosi yang bisa membuat orang datang berkumpul dan militan sebagai pembeli. “ katanya. Saya agak terkejut. Membuat orang berkumpul saja sudah sulit apalagi membuat orang militant . Ini ide luar biasa. Saya lebih baik diam dan siap menjadi pendengar yang baik.Teman ini memang luar biasa. Pemain lapangan. Bukan hidup dalam stigma teoritis kampus.

“ Jelaskan pada ku”

“ Tabuh genderang perang. Bangkitkan emosi rakyat untuk berbaris bersama melawan segala bentuk pengaruh asing yang telah membuat bangsa ini terjajah secara ekonomi, social , budaya. 80% rakyat yang selama ini terpiggirkan akan bangkit menjadi kekuatan raksasa menggilas siapapun. Sama seperti dulu Ketua Mao menggerakan revolusi menjatuhkan partai Komintang. Dia mengusung emosi anti kelas. Jadi ciptakan musuh bersama. Hanya ini yang dapat dijual. Karena ini menyangkut kehormatan keluaga, agama dan bangsa, yang masih tersisa di tengah jeratan kemiskinan. Siapapun , akan bangkit dan tidak peduli segala ekses yang akan timbul dikemudian hari. Sama seperti ketika kita merebut kemerdekaan. Merdeka atau mati. “ katanya.

Saya tidak mau komentar tapi yang pasti , teman ini sudah masuk dalam ruang kelelahan di tengah idealisme yang tak pernah bertemu dengan kenyataan. Tapi mungkin sikap teman ini dapat dibenarkan bila melihat sejarah kemerdekaan negeri ini, Kejatuhan Soekarno yang diakibatkan rakyat melawan karena issue komunis anti agama. Issue KKN yang menjatuhkan Soeharto dan orde baru. Issue pasar bebas yang menjatuhkan Uni Soviet dalam perang dingin. Issue terorisme untuk merebut perhatian dunia agar AS bebas menganeksasi Irak, Afganistan dan negara islam lainnya. 

Ditengah dunia yang serba digital , di era multimedia informasi , semua itu dapat saja terjadi. Yang tidak benar menjadi benar bila issue tersebut terus di ulang ulang hingga mempengaruhi public untuk percaya. Apalagi di era demokrasi , dimana semua issue boleh dijual bebas lewet sosial media.

" Isu apa yang akan kamu jual " tanyaku

“ Anti Aseng dan Asing, untuk pemanis di tambah program utopia yang populis.”

“ Apa platformnya ?

“ Apa saja. Kalau khilafah cocok ya pakai juga.”

“ Mengapa harus khilafah ?

“ Itu grey area. Agama engga jelas, politik makin engga jelas. Sehingga bisa ke mana mana saja issue dibawa tanpa terjebak dengan istilah sosialisme, nasionalisme, apalagi kapitalisme. Gerakan khilafah ada di semua lembaga. Jadi gampang gembosin kekuasaan yang ada.”

“Apa mungkin gerakan khilafah mau dukung kamu.?

“Dalam politik tidak ada yang yang tak mungkin. Apalagi kamu tahu kan, setiap yang bersinggungan denga politik pasti ujungnya duit. Siapapun tokoh agama, kalau mereka sudah berpolitik, itu engga ada bedanya dengan politisi. Cari duit mudah. Gimana ?

Saya tersenyum kecut. Lebih baik cepat keluar dari diskusi dengan teman ini...

No comments: