Monday, May 11, 2020

Investasi China di Indonesia


Dari tahun ke tahun sejak Era Jokowi investasi China di Indonesia terus meningkat. Bila tahun 2015 China adalah rangking 9 dari 126 negara asing yang invest di Indonesai. Tahun 2016 langsung melompat rangking 3 dan tahun 2019 sudah rangking 2. Mengalahkan Jepang yang sudah bercokol di Indonesia sejak tahun 1975. Bahkan mengalahkan AS yang paling lama mencengkram investasi di Indonesia. Walau Singapore tetap peringkat 1 negara yang investasi di Indonesia, namun sebetulnya bukanlah murni dari Singapore. Sebagian besar perusahaan Singapore yang investasi itu adalah milik orang Indonesia juga. 

Mengapa China sangat agresif investasi di indonesia ? karena sikap Jokowi yang mengurangi bisnis rente. Kemudahan perizinan dan memberikan kebebasan investasi kepada setiap negara selagi mereka patuh kepada UU PMA. Tidak ada perlakuan istimewa kepada negara tertentu. Di samping itu, pemerintah Jokowi bertekad melakukan hilirisasi industri bahan tambang. Kalau Jepang butuh 3 tahun persiapan sebelum mereka merealisasikan investasi. Sementara China, cukup setahun mereka sudah bergerak investasi. Karena investasi China tidak mengandalkan pasar domestik. Tetapi lebih kepada penguasaan global. Keberadaan mereka di Indonesia bagian dari supply chain global industri China.

Teman saya sama sama pengusaha, pernah ngomong ke saya. “ Gua diminta oleh teman gua yang elite politik,  dia minta kamu jangan terus menulis bela Jokowi. Lagian apa untungnya? 

“ Saya tanya sekarang. Kita kan sama sama pengusaha. Apakah ada Jokowi atau keluarganya punya saham di perusahaan tambang ? atau perusahaan yang dapat konsesi bisnis di Indonesia, seperti presiden sebelumnya? 

Tema saya terdiam. Akhirnya dengan suara berlahan dia katakan” memang engga ada sih. Yang susah itu kan orang sekitar dia. “

“Susah apa? susah diajak kerjasama ?

“ Bukan itu. Tetapi bisnis era sebelumnya enak. Sekarang sulit.”

“ Yang sulit itu cara kamu berpikir yang engga mau berubah. Coba dech berubah.”

Dulu sebelum Jokowi berkuasa, orang asing tidak bisa langsung deal dengan Pemerintah kalau ingin dapatkan konsesi. Biasanya mereka menghubungi proxy nya di Indonesia , yang umumnya konsultan atau makelar.  Bagi orang asing mereka dianggap “ asset”. Para proxy inilah yang menjalin hubungan dengan elite partai, pimpinan ormas dan LSM. Tentu itu ada tarif nya. Disamping uang ditebar,  juga ada komitmen kepada elite yang bantu. Ada yang berupa janji memberikan jabatan komisaris. Membangunkan kantor cabang dari partai atau ormas. Menjadi ATM bagi pimpinan ormas dan LSM. Sudah bisa ditebak investor yang datang itu bukan kelas premium, umumnya juga broker. Mereka hanya rent-seeking.

Nah ketika Era Jokowi , cara seperti itu tidak ada lagi. Investor bisa langsung deal dengan pejabat pemerintah. Broker dan seeking rent, engga laku lagi. Apalagi sejak adanya moratorium tambang. Tetapi mereka harus datang dengan uang dan reputasi yang jelas. Kalau engga, pasti ditolak. Mau bawa rekomendasi darimana saja, pasti rekomendasi itu masuk tong sampah. investor broker udah engga laku.  China masuk sejak era SBY tetapi mulai significant terealisir era Jokowi. Kalau anda perhatikan perusahaan China yang masuk, itu semua kelas premium. Investor berkelas dunia. Mereka bukan makelar. Mereka bisa mudah masuk karena mereka tidak perlu melalui broker. 

Saya pernah tanya sama teman di China, " mengapa tidak ambil konsesi tambang nikel di Indonesia."

"  Semua tambang nikel sudah dikuasai oleh pengusaha lokal yang bermitra dengan pengusaha dari AS, Jepang dan Singapore. Mereka dapat izin sejak era SBY. Kami tidak mau terlibat politik. Karena konsesi bisnis itu berkaitan dengan politik.  Kami masuk setelah ada larangan ekspor bahan mentah tambang. Bagi kami lebih baik mengolah saja menjadi barang jadi. Dan kami beli bahan baku dari penambang. Indonesia tentu diuntungkan. Karena mendapatkan nilai tambah atas bahan tambang itu dan belum termasuk nilai tambah dari penyerapan angkatan kerja dan pajak bagi daerah. Di tambah lagi, itu semua sumber devisa bagi Indonesia. Karena hampir 100% produk downstream itu di Eksport " Katanya.

" Kalau engga punya tambang sendiri apakah tidak takut di embargo oleh pemilik tambang atau mereka bangun sendiri pusat pengolahan. "

" Engga ada masalah. Itu hak mereka. Andaikan penambang tidak mau jual bahan mentah, ya kami datangkan bahan mentah dari Australia. Dan lagi saat sekarang produksi kami di Sulawesi itu, 100% nikel kadar tinggi kami datangkan dari tambang kami di Australia.  Tetapi, engga perlu kawatir. Kalau memang mereka mau bangun smelter, itu sudah mereka lakukan sejak 15 tahun lalu. Tetapi kan engga. Mereka hanya cari rente aja. Engga ada niat mengolah hasil tambang" 


Itu sebabnya keberadaan investasi China bagi elite politik dan oposisi tidak menguntungkan. Karena Investor China memang ogah dekat dengan politik. Mereka urus izin sesuai UU PMA dan lewati proses itu semua secara formal. Kalau untung mereka bayar pajak. Gitu aja. Tapi karena itu keberadaan investor China sangat mudah dipermasalahkan secara politik. Apakah pengusaha China kecewa dan marah? Yang saya tahu,  mereka tidak mempermasalahkan.  Setiap negara di tengah defisit Anggaran, investasi asing adalah keniscayaan. Indonesia tidak punya pilihan banyak untuk ngongkosi mesin politik dan birokrasi bagi 260 juta rakyat. Apa yang terjadi, itu hanya sesaat saja. Nanti juga akan normal.

No comments: