Friday, May 8, 2020

Why does everything have to be "made in China”?


Suatu saat relasi dari AS datang ke Hong Kong. Dia berminat membeli gagang ( frame ) kacamata. Dia perlihatkan contoh beberapa frame yang dia mau. Saya perhatikan. Itu materialnya dari plastik dan kalau ada titanium, itu hanya coated ( dilapisi). Dia tanya apakah saya dapat menjual barang itu. Saya tanya, kalau di AS berapa harga barang itu satu unit? Dengan santai dia menjawab bahwa harganya USD 100. Saya tahu dia agak berbohong. Karena data dari maket AS harga retail lebih dari USD 100. Tetapi ok lah. Saya katakan bahwa saya bisa jual dengan harga USD 10 per unit. Dia sempat engga percaya. Tetapi saya yakinkan. Bahwa pembayaran dengan LC. Jadi kalau engga delivery dan engga sesuai spec engga bayar.

Mungkin anda bertanya mengapa saya bisa jual frame seharga USD 5 per unit. Padahal di AS harganya USD 100? Barang itu saya buat di China dengan hitungan bukan harga per unit tetapi biaya bahan baku yang saya keluarkan untuk pesanan dia sebanyak 200.000 unit. Apa bahan bakunya ? PVC dan coated titanium. Untuk satu unit kacamata, hanya butuh beberapa gram PVC dan coated titanium. Biayanya hanya USD 3. Sementara biaya moulding dan processing hampir engga ada arti. Karena barang diproduksi secara massal tentu biaya processing per unit sangat rendah sekali. Saya abaikan saja biaya processing itu. Jadi sebetulnya saya engga jual frame, saya hanya jual PVC dan coated tittanium.

Saya juga menjual Jilbab ke Mesir dan Arab. Harga per unit hanya USD 0,20 atau kurang lebih Rp. 2.800. Kalau di Indonesia mungkin harga dipasar Rp. 20.000. Mengapa saya jual dengan harga murah. Lagi lagi hitungannya bukan per unit. Saya tidak jual jilbab tetapi saya jual benang dan serat sintetis. Satu uni jilbab itu hanya menghabiskan benang dan serat sintetis beberapa gram saja. Kalau dihitung cost saya sebesar USD 0,10. Karena saya beli bahan baku itu tonan. Tentu harganya sangat murah. Biaya produksi dan processing sangat kecil sekali karena diproduksi massal.

Itulah pengalaman bisnis awal awal saya di China sebagai pengusaha “maklon”. Saya tidak punya pabrik tetapi saya bisa mengekspor barang dari China keseluruh dunia. Caranya hanya memanfaatkan supply chain ( Rantai pasokan ), yang memang luar biasa hebatnya di China. Apapun pesanan dari pembeli di seluruh dunia bisa saya produksi di China, karena rantai pasokan bahan baku industri tersedia luas. Dari elektronik sampai ke bahan kebutuhan sekunder lainnya. Harga sangat murah. Itu bukan karena dumping. WTO tidak melihat barang karena merek tapi spec. Harga barang China sesuai dengan spec sebetulnya tidak murah. Wajar saja. Namun bagi kapitalis harga itu sangat murah sekali. Maklum mereka menetapkan laba berlipat kali. Saya bukan kapitalis. Saya hanyalah pedagang.

Makanya jangan kaget bila banyak orang asing di China yang awalnya “maklon” seperti saya, dalam dua tahun sudah bisa mendirikan pabrik sendiri di China. Itu berkat mudahnya make money di China. Saya engga kebayang, kalau di Indonesia mungkin untuk bisa buat pabrik butuh waktu puluhan tahu, dan itupun hanya orang itu itu saja. Sangat sulit bagi newcomer. Bukan itu saja, sekali kita buat pabrik, bank sudah tawarkan kredit modal kerja. Kalau mau ekspansi , bank sangat mudah kasih kredit. Bunga sangat murah dan proses cepat. Benar benar bank itu berfungsi menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Itulah jawaban kalau ada yang bertanya “ Why does everything have to be "made in China”? Tidak ada satupun negara yang bisa embargo produk China. Karena harga tidak mengenal idiologi dan agama. lihatlah fakta di AS. Walau begtu keras hambatan tarif terhadap produk china, orang tetap beli barang China. Karena harga yang murah. Untuk bisa meniru China juga engga mudah. Tidak ada kampus mengajarkan kerja seperti China. Karena itu bukan sain tetapi budaya yang berakar dari sikap mental gemar berproduksi dan hidup hemat.

No comments: