Friday, May 8, 2020

Hegemoni US Dollar.

Anda mungkin tahu istilah slow motion. Itu adegan lambat yang sebetulnya kita sudah tahu endingnya. Namun dengan adanya slow motion itu kita jadi tahu detail peristiwa. Nah apa yang terjadi pada Dollar AS, itu sama dengan slow motion. Endingnya kita sudah tahu bahwa kekuatan AS itu adalah mata uang. Makanya disebut sebagai super power. Apa yang terjadi sekarang terhadap hegemoni mata uang dollar AS, itu sudah diketahui oleh semua ekonom sejak AS memenangkan perang dunia kedua.

Mari kita perhatikan. By process dollar AS sudah jadi alat pembayaran global. Anda mau transaksi dengan negara manapun, orang lebih percaya kepada Dollar, bukan mata uang lokal. Semua negara di dunia terpaksa menyimpan dollar sebagai cadangan agar bisa aman untuk belanja impor.  Setelah semua negara bergantung kepada dollar, maka AS mulai mengatur supplai uang ke pasar. Jadi uang bukan lagi sebagai alat pembayaran tetapi alat politik kekuasaan global. 

Gimana caranya? AS melalui the Fed memberikan pinjaman kepada Bank dan lembaga keuangan yang menjadi members dari the fed system. Kemudian bank dan lembaga keuangan ini menyalurkan kepada perusahaan dalam bentuk pinjaman. Ada juga membeli surat utang dari perusahaan termasuk surat utang negara di pasar sekunder. Akibatnya likuiditas jadi longgar, dan perusahaan maupun pemerintah negara lain bisa ekspansi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dollar AS hasil pinjaman itu sudah berubah ujud dalam bentuk property, infrastruktur, industri dan lain lain. Lambat laun, negara lain bukan hanya tergantung kepada Dolar untuk alat pembayaran tetapi juga alat untuk ekspansi dan pembiayaan APBN.

Nah yang jadi masalah adalah AS menyediakan uang Dollar itu bukan karena fundamental ekonominya atau sesuai dengan jaminan atas uang yang beredar. Tetapi memang di create begitu saja untuk memenuhi permintaan pasar. Sementara permintaan akan dollar semakin lama semakin besar. Ya AS harus terus produksi dollar. Maka jadilah dollar AS sebagai komoditas yang di create seperti layaknya mesin industri. Ada sistem distribusi dan clearing. Ada agent. Ada distributor nya dan juga ada salesmannya. Lengkap sekali.

Nah apa yang terjadi apabila dolar yang ada di pasar sudah lebih banyak daripada produksi real? Ya semua surat utang swasta bermata uang AS jadi sampah. Harga saham jatuh. Itulah yang terjadi pada kasus 2008. Lehman Brother collaps yang membuat wallstreet terjerembab dan dunia masuk ke krisis global. Tetapi yang korban bukan pemerintah AS sebagai produsen dollar. Tetapi konsumen yang percaya dengan instrument bermata uang dollar. Tak terbilang  investor bangkrut dan kebanyakan yang bangkrut adalah investor retail. Sementara agent, distributor, salesman dollar, tetap kaya raya. Mengapa? setiap transaksi mereka dapat fee. Kerugian investor menjadi laba bagi mereka.

Setelah investor bankrut, likuditas jadi kering. Sementara negara di dunia ini sudah tergantung dengan dollar sebagai alat pembayaran dan investasi. Ya AS produksi lagi. Caranya? yang cetak uang lagi lewat QE. Dollar  kembali mengalir ke pasar terutama kepada negara emerging market. Karena suku bunganya rendah, dan syarat longgar sehingga menjadi sumber likuiditas oleh banyak negara dan perusahaan. Pendapatan bunga dari dollar yang di cetak itu dipakai AS untuk mengongkosi resiko akibat krisis wallstreet. Caranya? memberikan jaminan sosial bagi yang kena PHK dan memberikan subsidi kepada sektor usaha di AS agar bisa bangkit lagi. Memang ekonomi AS mulai membaik.

Tahun 2018 , AS menarik kembali uangnya di pasar. Gimana caranya ? Ya gampang. AS naikan suku bunga. Uangpun berterbangan masuk kembali ke AS. Pada waktu bersamaan AS mencanangkan perang dagang dengan China. Dampaknya sangat sistimik. Maklum 15% PDB Dunia di kuasai China. China juga menguasai supply chain industri di banyak negara. Jadi walau mata uang AS menguat tetap punya daya saing akibat adanya kenaikan tarif. Negara negara di dunia mulai mengurangi ketergantungan dengan Dollar AS. Caranya? mereka melakukan perjanjian bilateral dengan negara yang jadi mitra dagangnya untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi ekport dan impor atau istilahnya Billateral SWAP.

Banyak negara besar melakukan perjanjia billateral SWAP, seperti Indonesia dengan Singapore, korea dan Jepang. Di situasi itu, China juga menawarkan alat pembayaran Yuan yang bisa di conversi dengan emas di bursa Shanghai. Tujuannya agar orang lebih percaya Yuan daripada Dollar  AS. Hanya masalah waktu hegemoni US dolar akan berakhir. Tetapi malang tak bisa dielak. Tahun 2019, bulan desember China kena wabah COVID-19. Bursa berjatuhan. Investor yang pegang instrument Yuan dan Yen dan mata uang utama lainnya, rame reme pindah ke Dolar AS. Mereka panik. Permintaan dollar AS meningkat. Sementara  banyak surat utang perusahaan multinasional dan lokal kesulitan mendapatkan dollar untuk bayar utang yang jatuh tempo. Dolar AS menguat dan semua mata uang utama berjatuhan. Kembali dolar unjuk perkasa tanpa tandingan. Sementara AS masih santai saja menghadapi pandemi COVID-19. Bahkan mengejek China.

Masuk awal maret, negara negara lain mulai kelimpungan memenuhi permintaan dollar. Kalau terus dilayani maka cadangan dollar mereka akan habis dan mata uang mereka jatuh. Sementara pertumbuhan ekonomi dunia turun menuju resesi. Pada waktu bersamaan COVID-19 juga melanda AS dengan korban ribuan. Tanggal 31 Maret AS mengeluarkan stimulus USD 2 triliun. Uang sebanyak itu bukan hanya dipakai untuk kepentingan domestik dalam perang terhadap COVID-19 tetapi sebagian besar dipakai untuk mengamankan likuiditas global dalam mata uang dolar. Ini kesempatan bagi AS dagang dollar sekaligus mengamankan hegemoninya dalam bidang mata uang global.

Gimana caranya? AS menawarkan produk yang bernama REPO LINE. REpo Line ini adalah repurchase agreement atas surat berharga AS yang dimiliki oleh Bank central asing dan pemegang rekening international. Tujuannya adalah menjaga kelancaran pasokan kredit ke pasar dan mengamankan pasar surat berharga AS ( US T Bill). Tentu tidak semua negara mendapatkan fasilitas Repo Line ini. Yang dapat fasilitas hanyalah bank central dan lembaga keuangan international yang qualified. Tawaran kerjasama REPO line kepada BI, dasarnya adalah vote of confidence. Artinya benar benar atas dasar kriteria yang ketat secara financial, bukan karena pertimbangan politik. Ini menunjukan walau krisis kini lebih buruk dari tahun 1998 namun daya tahan ekonomi kita jauh lebih baik dari  tahun 1998. Kita engga butuh uang lendir dari IMF untuk penyelamatan ekonomi. Pasar secara sistem bertanggung jawab merecovery ekonomi Indonesia. 

“ Anda engga perlu jual cadangan dollarnya. Itu pakai saja untuk mengamankan mata uang anda. Nah kalau anda perlu uang, kami punya produk namanya REPO LINE. Cadangan devisa anda berupa surat berharga bermata uang dolar jual kepada kami tetapi anda wajib beli kembali sesuai waktu yang disepakati. Nah anda akan dapat uang tunai dolar dari kami, sementara devisa anda tetap aman. Karena REPO itu selagi kontraknya tidak default maka selama itu surat berharga atau asset itu masih berada di neraca anda. Tentu ada fee atau premium yang harus dibayar oleh anda yang membeli produk REPO LINE.” kira kira itu yang ditawarkan The FED kepada BI.

Bagi BI, produk REPO LINE ini bisa jadi senjata ampuh untuk gertak  spekulan hedge fund yang mau goreng rupiah. “ Silahkan anda hajar mata uang rupiah, kami tetap punya dollar dan engga akan beli dari pasar untuk memenuhi likuiditas dunia usaha. Karena kami punya deal langsung dengan pabrik dollar, the Fed. “ Kira kira itu kata BI. Apa artinya? engga akan ada yang berani fight di pasar lawan BI. Sehingga Kurs rupiah dapat dikendalikan dan rupiah bisa stabil, tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh pasar. Nah, tinggal BI berhitung berapa kurs yang layak untuk mengerakan pasar dan investasi. Jadi kalau rupiah sudah bisa dikendalikan sesuai pasar normal , ya BI tidak perlu gunakan fasilitas REPO LINE itu. Ya hanya sebagai jaga jaga saja. 

Apa yang terjadi kemudian dengan REPO LINE terhadap moneter AS? Pertama, AS terhindar dari rush T-bill oleh bank central yang butuh uang tunai dollar AS untuk memenuhi likuditasnya. Bayangkan, kalau semua bank central di dunia ini menjual T-Bill yang mereka pegang, ekonomi AS pasti jatuh. Orang engga percaya lagi dengan dollar. Kedua, AS bisa menambah uang beredar lewat REPO LINE, dan ini membuat negara di dunia ini semakin tergantung kepada Dollar AS. Sementara moneter AS semakin longgar untuk membiayai ekonomi recovery domestik dan termasuk penanggulangan COVID-19.

Ya andaikan tidak ada COVID-19 mungkin AS akan masuk ke jurang resesi dan mata uang dollar tinggal masa lalu yang suram. Tetapi berkat COVID-19 menjadi pandemi global, hegemoni dolar AS semakin tajam cengkramananya ke dalam sistem keuangan global. AS tetap raksasa yang rapuh,  serapuh peradaban dunia yang bergantung kepada uang. Negara lain kerja keras dapatkan dollar sementara AS hanya menambahkan jumlah uang di rekening the Fed, dollar pun tercipta. 


No comments: