Friday, May 1, 2020

Materialisme..



Sumiati seperti biasa tersenyum ketika aku parkir kendaraanku di pelataran cafe. Dia hanya penjual kue yang pelanggannya khusus anak cafe. Kalaulah Sum mau berhias sedikit, tentu dia keliatan cantik. Setidaknya Sum belum pernah menikah.  Sum punya impian. Dia hanya butuh sedikit modal untuk buka warung kecil walau emperan toko. Setelah itu dia berharap punya gerobak sendiri untuk jual nasi goreng. Dan selanjutnya, berharap bisa buka cafe dengan beberapa orang karyawan. Syukur bila itu semua bisa membawa ibunya ke Makkah. Aku hanya tersenyum mendengar impian Sum. Terlau naif bagi seorang Sumiati untuk berharap terlalu banyak di kota kapitalis seperti Jakarta ini. Tapi Sum yakin.

“ Sum” Seru ku “ Aku mau cerita tentang tamuku yang aneh” sambungku sambil menanti cafe itu buka. 

“ Cerita aja. “

“ Sejak kali pertama bertemu tamu itu, aku seperti ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari tamu itu? Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku—dua tahun lalu—tatkala aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur di rumah teman. Hingga akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar asing bagiku—lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hampir memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan kehadirannya pada satu malam tertentu. 

“ Dan lelaki ini, tamu kamu di cafe yaaa.” Kata Sum menegaskan siapa pria yang dimaksud.

“ Aku tak tahu, bagaimana semua itu bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di sudut cafe. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku seperti hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap pori-pori. Mata tamu itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke dalamnya….Aku tidak bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia lama tidak mengunjungiku….

“ Aku tahu tamu yang kamu maksud.” 

“ Kok kamu tahu ?

“ Sepertinya aku pernah lihat wajahnya di koran pagi.”

“ Oh gitu. DI mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya tamu lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit. Aku tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh."

”Aku tak yakin kamu bisa jatuh cinta, Dan juga tidak mungkin dia jatuh cinta…,” ucap Sum dengan enteng.

Aku diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang Sumiati katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk memahamiku. 

“ Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun…

”Sekarang gimana setelah kamu tahu itu ?”

Aku terdiam. Teringat di suatu malam, lelaki itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di balik selimut. Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik. Setelah hening, lelaki itu berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.” 

" Dan kamu tak mungkin mencegahnya pergi."

“ Entahlah Sum “

Sum hanya tersenyum. “ Kamu tidak pernah memiliki diri kamu sendiri. Tentu kamu tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan itu benar atau salah.”

“ Sum, kamu jahat sekali. Segitukah nilai kamu terhadap aku “

“ Kenyataannya begitu.”

“ Kenapa ya Sum”

“ Kendaraan, ATM selalu ada isi, dan pakaian selalu baru, dan tempat kos daerah elite. Itu semua tidak didapat dengan kerja keras. Dan sekarang kamu bicara tentang cinta untuk itu semua ? Aneh aja. “

“ Ah kamu, bisa aja. Itu kan rezeki anak sholeh...”

***
Malam itu tamuku tidak jadi datang. Tanpa alasan yang jelas. Akupun tak ingin menghubunginya. 
“ Dia tidak akan datang , Mir “ Kata Sum ketika aku akan masuk kedalam kendaraan.” 
“ Kok kamu tahu Sum”
“ Engga baca berita sore ? 
“ Ada apa ?
“ Tamu kamu ditangkap KPK. “
“ Ketangkap tangan ya Sum”
“ ya begitu ceritanya.”
Aku terhempas lemas. Bagaimana dengan nasipku? Segala bayangan buruk datang menyelimuti pikiranku. 
“ Sudah saatnya kamu kembali ke jalan Tuhan. “ Kata Sum.
“ Jangan petuahi aku perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Aku pasrah dijemput maut kapan saja, tapi aku enggan mau mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah aku dengan hidupku, Sum. Tolonglah sedikit empati di saat seperti ini.”
“ Apa yang kamu harapkan dari kemurahan seorang koruptor? Dia sudah mengkhianati negara dan juga keluarganya. Dia tidak akan pernah bisa mencintai siapapun kecuali dirinya sendiri. Apalagi dirimu?

Aku terdiam dan menangis. Sum ada benarnya. Aku dan pria itu sama saja. Sama sama rakus, menjadikan materi sebagai Tuhan dan sumber cinta. Kulajukan kendaraan menyusuri kemacetan Jakarta. 

Di tempat kos, aku menangis dalam kesendirian. Hujan di luar mungkin telah membuat banyak orang cemas karena tinggal di bantaran kali dan dirumah kumuh,, yang hanya masalah waktu akan didera banjir. Kemiskinan dan keterpurukan adalah ketidak adilan sistem. Dan itu hanya melahirkan kemakmuran diatas banyak penderitaan yang luput di catat statisik. Sementara aku menikmati limpahan kemewahan dari  dana haram untuk pekerjaan haram. Kebodohanku adalah mempercayai cinta dari seorang koruptor. Tentu kebodohan rakyat yang mempercayakan kekuasaan kepada koruptor yang kadang membungkus kata dengan Firman Tuhan, dan membalut dirinya dengan pakaian orang sholeh. Bergaul dengan orang sholeh.  

Benar kata Sum “ Kamu tidak pernah memiliki diri kamu sendiri. Tentu kamu tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan itu benar atau salah.” Ya karena aku terjebak dengan kemanjaan dari sang koruptor..Bagaimana dengan Sum sendiri? Setidaknya dia punya impian dan memulainya dengan keringat halal dan tahu harga dirinya diperjuangkan melalui kerja keras tanpa menjauh dari Tuhan…

No comments: