Hidupku menjanda. Akan tetapi, aku masih bisa hidup berkecukupan dalam arti tidak tergantung siapa siapa, bisa makan tiga kali sehari, punya apartement mewah, kendaraan. Tadinya waktu aku masih punya suami, hidupku seperti ayam merak. Tinggal di istana megah namun serba terkurung dalam batasan suamiku sendiri. Dia bebas pergi kemana saja karena alasan bisnis. Mungkin saja dia selingkuh dengan banyak wanita. Tetapi itu hak dia, dan kewajibanku untuk menerima. Tapi bagaimanapun aku terima hidupku dengan suka cita. Suami kuhormati agar aku dapat ridho Tuhan. Dua anakku kurawat dengan sepenuh cinta. Para pembentu kuperlakukan dengan semanusiawi mungkin. Kujaga perasaannya walau mereka hamba sahaya.
Dari uang pemberian suami yang tak pernah kurang, aku berderma kepada orang lain yang kesusahan. Ikut dalam yayasan amal menyantuni orang miskin dan yatim. Kehidupanku begitu sempurna. Setidaknya itu menurut orang lain. Punya suami yang penyayang. Anak anak yang cerdas dan berbudi baik. Teman teman yang sangat peduli dan menghormatiku. Kehidupan sosial yang sangat menyenangkan. Itulah aku. Karenanya setiap detik helaan napasku, adalah rasa syukur kepada Tuhan.
Namun sebanyak rasa syukur kepada Tuhan, mungkin tidak cukup bagi Tuhan. Tuhan tidak melihat retorika syukur tetapi ingin pembuktian apakah aku benar benar bersyukur. Suatu waktu yang tak pernah aku lupakan. Aku terjatuh di kamar mandi. Bukan karena stroke tetapi tergelincir, tepatnya. Punggungku terhentak ke closet. Aku terkapar dan tak bisa bangkit lagi. Walau aku berusaha tetap saja kekuatan tulang punggungku tidak mampu menopang tubuhku. Masuk rumah sakit. Sebulan lebih di rumah sakit, punggungku tak bisa lagi membuat tubuhku berdiri. Akupun lumpuh. Hidupku mulai bergantung kepada orang lain. Apapun tergantung orang lain.
Dua tahun dalam pembaringan kelumpuhan. Suamiku jatuh bangkrut dan dia tidak ingin pulang lagi ke rumah. Mungkin dia tidak sanggup lagi hidup bersamaku yang lumpuh atau dia tak bisa pulang karena takut di kejar hutang atau apalah. Tetapi aku bisa terima. Dia tidak salah dan tentu ada alasan mengapa dia tinggalkan aku , istrinya yang sedang sakit. Tapi aku masih beruntung, kedua anakku masih ada. Namun itu tidak bertahan lama. Satu demi satu anakku diambil oleh keluarga besar suamiku. Alasannya mau disekolahkan. Dalam keadaan sakit tak berdaya, aku kehilangan suami, anak dan harta.
Aku tetap bersabar dan bersyukur. Karena bagaimanapun Tuhan mengirim malaikat untuk menolong anak anaku. Soal aku? Itu urusan Tuhan. Teman temanku di Yayasan mengirim aku ke dinas sosial untuk masuk pusat perawatan orang terlantar. Akupun terasingkan dari lingkunganku. Sahabatku yang dulu selalu aku bantu, justru kini mereka mengirimku ke panti sosial. Aku tidak kecewa. Aku bersyukur karena mereka peduli akan hidupku yang terlantar. Kalau mereka tidak bisa membatu, tentu ada alasan. Itu harus aku maklumi agar rasa syukurku kepada Tuhan tidak berkurang.
Suatu saat kamu datang ke Panti, kamu minta aku memohon kepada Tuhan agar Tuhan menolongku. “ Karena hanya Tuhan satu satunya yang tersisa yang kamu punya di dunia ini. Bukankah selama ini kamu hidup di jalan Tuhan. Tentu Tuhan akan mengabulkan permintaanmu”. Begitu katamu. Tetapi aku menolak. Bukan karena aku sombong dan merasa paling kuat. Tetapi aku malu kepada Tuhan. Betapa nikmat pemberian Tuhan jauh lebih banyak kudapat selama ini. Kalau kini hidupku tidak seperti dulu, itu bukan berarti Tuhan membenciku, tetapi Tuhan sedang memberiku yang terindah. Apa itu. Sabar. Tuhan berkata, bahwa sabar itu cara terbaik mendekatiNYA. Apakah ada yang lebih indah selain dekat kepada Tuhan? aku bukan menikmati cobaan ini tetapi aku berusaha mengambil hikmah dari hidupku.
Pada batas tak tertanggungkan, karena petugas sosial sepertinya sudah bosan dengan keadaanku yang lumpuh, mereka juga sudah tidak lagi ramah. Saat itu aku merasa sangat dekat kepada Tuhan. Aku tersenyum dalam ketidak berdayaan, sakit dan terasingkan. Entah mengapa tengah malam aku terjaga. Aku melihat cahaya yang mendorongku melangkah. Petugas panti takjub melihatku bisa melangkah dan berjalan seperti orang biasa. Apalagi melihatku pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, dan sholat.
Keesokannya aku minta izin untuk keluar dari panti. Mereka mendoakan agar aku baik baik saja. Aku datangi keluarga suamiku, tetapi anak anakku tidak ingin dekat lagi denganku. Mereka sudah nyaman dengan hidupnya. Aku datangi Yayasan yang dulu tempat kubergiat, tetapi mereka tak lagi tertarik mengajakku bergabung. Saat itu usiaku mendekati 40 tahun. Hanya satu orang yang bersedia menampungku. Ia adalah mantan Supir keluargaku. Hidupnya memang miskin. Menanggung satu istri dan 2 anak. Tapi dia merasa tidak terbebani walau pekerjaannya hanya sebagai supir taksi. Namun aku tidak ingin membebani hidupnya. Aku sehat dan bisa melangkah. Yang bisa aku lakukan, harus aku lakukan untuk hidupku, untuk syukurku kepada Tuhan.
Aku diterima bekerja. Hanya sebagai sales freelance. Hanya itu yang lapangan pekerjaan yang bisa kudapat. Hampir sebulan tak ada satupun deal terjadi. Saat itu aku tidak mengeluh. Pekerja pemula selalu begitu. Butuh waktu untuk belajar. Yang aku kawatirkan rasa bersalah karena membebeni orang yang hidupya dalam kemiskinan. Rasa bersalah itulah yang membuat aku semakin dekat kepada Tuhan.
Ketika aku mendatangi salah satu target market potensial, aku mendengar sang boss sedang marah marah kepada Stafnya karena belum bisa memindahkan barang limbah pabrik dari gudang. Limbah itu berupa potongan hasil guntingan pakaian. Salah satu staf itu meminta aku segera pergi. Karena pasti boss nya menolak untuk terima tamu. Tapi entah mengapa aku tidak surut sebelum diusir oleh boss itu. Setelah melihat keadaan reda dikamar kerja boss itu, aku masuk.
“ ada apa kamu? Bentak sang boss.
“ saya mau tawarkan alat pembersih ruangan . Mungkin akan membantu membersihkan pabrik anda” Akupun menyerahkan brosur kepada sang boss. Namun Sang boss melempar brosur itu ke tong sampah. “ Gini aja, saya akan beli kalau kamu bisa pindahkan limbah di gudang pabrik saya. Bisa ?
Aku terdiam. Aku tidak melihat aku direndahkan. Aku justru melihat ini peluang dan harapan. Karena ada boss besar putus asa dan meminta aku memberikan solusi. Ini Deal bagus.
“ beri saya waktu. Saya akan lakukan” Kataku serta merta.
“ Ya udah, cepatlah. Sekarang pergi kamu! “ kata sang bisa dengan suara keras.
Aku keluar ruangan dengan bingung. Apa yang harus aku lakukan? Ketika keluar dari kantor itu, Satpam menyapaku. “ gimana? Udah ketemu dengan boss saya”
“ Udah. Dia marah. Tapi saya ada peluang”
“ Peluang? Apa?
“ Dia akan beli alat pembersih ruangan yang saya tawarkan kalau saya bisa mengangkut limbah pabrik”
Satpam itu memintaku mendekat, dengan berbisik “ ada yang minat dengan limbah itu. Tapi terdiri dari beberapa orang pengrajin keset kaki. Kalau mereka beli sendiri sendiri engga mampu. Kalau kamu bisa koordinir mereka, tentu bisa habis itu limbah di gudang. Dan bukan engga mungkin setiap limbah terkumpul akan terus mereka terima.”
“ Mengapa tidak diusulkan kepada boss?
“ Siapa yang berani. Dia maunya cepat dan praktis aja”
“ Ok tunjukan alamatnya, saya akan datangi pengrajin itu”
Setelah itu aku mendatangi alamat pengrajin keset. Aku mendatangi satu persatu pengrajin. Semua mau terima. Dan hebatnya para pengrajin itu berani membeli dengan harga bagus. Akupun mendatangi pengusaha angkutan. Aku butuh jasa angkutan namun dibayar dari hasil penjualan barang yang diangkut. Namun kebanyakan menolak. Aku tidak menyerah. Setelah mendatangi beberapa perusahaan angkutan, ada yang minat mengambil peluang yang aku tawarkan. Akhirnya aku berhasil mengosongkan gudang limbah itu. Boss pabrik senang. Aku tidak dapat fee dari boss pabrik. Tapi Boss pabrik setuju membeli alat pembersih ruangan. Dari penjualan limbah itu akupun tidak dapat untung. Niatku hanya bagaimana mendapatkan Deal menjual barang pembersih ruangan. Namun Deal itu di bawah target perusahaan. Aku tetap diberhentikan. Aku kehilangan pekerjaan.
Akhir bulan pengrajin memintaku kembali mengirim limbah. Aku datangi boss pabrik itu kembali. Aku katakan dengan jujur bahwa aku tidak lagi bekerja. Aku hanya ingin membantu pengrajin. Boss itu dengan senang hati memberiku limbah. Dari kerjaan itu aku pabrik memberiku upah. Aku juga dapat keuntungan dari penjualan limbah kepada pengrajin. Selanjutnya hiduku berubah. Ekonomi membaik dan aku tidak lagi menumpang di rumah orang. Aku tinggal di apartement. Itu hanya berselang 3 bulan setelah aku keluar dari panti Sosial. Tuhan berbuat sesukanya. Itu kuyakini seyakin aku melewati takdirku.
Setahun setelah itu boss pabrik yang duda tanpa anak jatuh cinta kepadaku. Kamipun menikah. Empat bulan setelah acara pernikaha yang spektakuler, suamiku meninggal karena kecelakaan. Semua hartanya jatuh kepadaku. Dan aku kini jadi boss melanjutkan usaha suami. Di usia menua, mendekati 50 tahun, hidupku menjanda, anakku telah kembali kepadaku. Kehidupan kembali normal, dan aku tetap hidup di jalan Tuhan tanpa dendam apapun kepada mereka yang mengabaikan hidupku ketika aku terpuruk. Karena ini bukanlah antara aku dengan mereka tetapi antara aku dengan Tuhan, untuk menguji keimananku dan rasa syukurku. Itu aja.
No comments:
Post a Comment