Friday, May 1, 2020

Semua karena bisnis, dear



Usianya sudah kepala 4. Namun dia tetap cantik. Seakan dia sangat paham merawat assetnya sebagai wanita. Untuk kesekian kalinya kami bertemu sebagai sahabat di sebuah cafe favorit kami. Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjangnya. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?” Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya.

Mendengarkan tangisnya yang panjang dan menyayat, aku menduga dia sangat terlatih menangis atau setidaknya dia punya pengalaman yang panjang dalam soal tangis-menangis. Tentu saja, dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya yang perempuan. Tangis bukan hanya milik perempuan, tapi juga laki-laki. Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi menghubungkannya dengan raut wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku ia menangis karena memang harus menangis. Tidak setiap tangisan punya alasan. Karena itu, aku tetap kukuh untuk tidak bertanya kenapa dan untuk apa dia menangis. Kupikir itu tidak sopan.

“Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih.
Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang mengambang. Mungkin aku dianggapnya aneh dan berbeda dengan banyak laki-laki lain yang selalu ingin tahu alasan seorang perempuan menangis. Lalu, laki-laki itu mencoba menjadi tukang pemberi nasihat dengan kata-kata yang gagah dan gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh cinta. Simpati seperti itu, kupikir, tak lebih dari jebakan.

“Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?”

Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri dengan mengambil nafas dalam dan panjang seraya mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Kuhisap rokok itu kuat-kuat dan kuhembuskan asapnya. Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan pada botol-botol bir yang kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan berisi kacang goreng. Aku merasa kecanggungan itu mencair ketika perempuan pelayan kafe datang dan mengangkat botol-botol itu. Tanpa berpikir panjang, kupesan dua botol bir dan satu porsi kentang goreng. Perempuan pelayan itu cepat melesat setelah pesananku dicatat. Kurasakan suasana canggung kembali mengurung.

Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi berambut coklat mengalunkan lagu. Irama dan suaranya menjelma sembilu.
“Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?”
Kembali ia menohokku. 
“Aku rasa kesalahan kamu karena selalu ukurannya pada dirimu sendiri, pada keinginan yang tak sampai, pada sesuatu yang kamu anggap milik kamu. Padahal kehidupan ini tak ada manusia yang bisa memiliki. Apapun. Rudi, ketika dia menjadikan kamu istri kesekian, karena dia merasa pantas memiliki kamu. Dan dia bayar. Engga gratis. Kalau ada kata cinta dan janji yang tak lunas, itu hanya aksesoris saja. Mungkin setelah omong, dia sendiri lupa. Setelah orgasme, baginya kamu hanya onggokan daging. Kalau akhirnya dia tetap setia kepada istrinya yang pertama, itu juga bukan karena dia mengidolakan istrinya tetapi karena dia punya misi terhadap anak anaknya. Semua pria punya pride hanya kepada anak. Selebihnya hanya seperti buih bir saja. Jadi sadari dimana kamu berdiri dan melangkahlah pada batas bayang bayang kamu saja. Jangan lewati batas itu. ”Kataku berusaha mengajak dia realistis.
“Bagaimana kamu tega bicara seperti itu?”
“Bagiku apapun itu pada akhirnya hanya bisnis. Kamu menangis, marah, kecewa, karena kepentingan bisnis kamu terganggu, sehingga merasa Rudi tidak bisa sepenuhnya jadi financial resource kamu, tidak sepenuhnya menepati janjinya. Dalam dunia bisnis, kata kata tidak penting, kecual perbuatan dan sikap.”
“Jahat sekali kamu. Emangnya aku pelacur?”
“Bukan. Bukan. Jangan salah paham.”
“Lalu, kenapa?”
“Dalam dunia kapitalis, tangisan itu engga penting. Rudi itu kapitalis. Dia pengusaha. Kami butuh hiburan dari wanita, setidaknya berhentilah mengeluh dan gunakan waktu kebersamaan dengan cerita dan tawa. itu saja. ”
Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku sangat khawatir, ucapanku tadi menyakiti hatinya.
Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil.
“Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang usiaku….aku merasa tidak ada keadilan”
Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan menghilang diringkus kesunyian malam. “ Itu karena kamu salah menyikapi hidup. Terlalu baper. “kataku sekenanya.

“ Terlalu kamu. Dimana empati kamu ?Apakah semua hanya karena bisnis ? Katanya merengut.

“ Indonesia dijajah 3,5 abad oleh Belanda. Itu karena bisnis. Kalau hanya menjajah tidak akan bertahan lama. Tapi karena bisnis maka  para raja dan sultan di nusantara ini engga peduli dengan kehadiran Belanda. Kalaupun perang terjadi, itupun karena alasan bisnis. Deal tercapai, perang pun  berakhir. Tanpa terasa waktu berjalan begitu saja. Terjadi saling memanfaatkan. Dan mengapa Soeharto bertahan lebih dari 25 tahun. Itu juga karena bisnis. Bukan karena dia smart dan kuat. Orang terdekat dia, melindungi dia tetap berkuasa agar sumber daya negara mengalir kepada mereka.  Dan Soeharto pun jatuh karena alasan bisnis.  Mengapa Sultan Sulaiman Yang Agung dari Khilafah Turki Ustmani tega membunuh putranya sendiri, itu karena kekuasaan, dan kekuasaan itu bisnis yang bisa membuat pria bermanja bersama ratusan harem” Kataku

" Jadi, tidak ada urusan yang lebih penting dalam hidup ini selain bisnis. Mengapa segitunya kamu bersikap ? katanya.

" Karena bisnis adalah sifat dasar menusia untuk bertahan hidup. Sifat survival ini tertanam pada DNA manusia. Antara manusia saling tarik menarik. Saling jatuh menjatuhkan. Itu semua karena faktor bisnis. Kalau ada terkesan agama atau idiologi, itu hanya micin aja. Esensinya tetap yaitu bisnis.

Era berganti dan zaman berubah. Bisnis tidak lagi mengandalkan kekuatan phisik tetapi sudah berubah menjadi kekuatan akal. Bisnislah yang membuat perkawinan indah antara sain dan teknik yang melahirkan industri dan manufaktur. Dari perkawinan sain , sosial dan tekhnik lahirlah Internet. Dari perkawinan sain, teknik, ekonomi, lahirlah fintech. Dari perkawinan sosial dan ekonomi lahirlah perdagangan barang dan jasa. Maju mundurnya peradaban suatu negara berkaitan era dengan maju atau mundurnya ilmu pengetahuan. Berkaitan erat dengan cara berpikir masyarakatnya. Berkaitan era dengan antusiasnya terhadap membaca. Berkaitan erat dengan kecerdasannya membaca literasi ilmu pengetahuan. Dan semua itu , bisnis menjadi motifasi semua orang bergerak.”Kataku. Dia menatap tanpa ragu seakan mencari kebenaran dari mataku. Apakah aku sedang serius bicara. Bukankah selama ini aku hanya jadi pendengar dia berkeluh.

“ Cobalah perhatikan.” Lanjutku. “ Kekayaan Mark Zuckerberg sama dengan 6 kali GDP Brunei. Hanya seorang Yahudi mengalahkan satu negara islam. MarCap APPLE sama dengan 1,5 kali GDP Arab Saudi. Atau 3 kali GDP Emirat Arab. Dampak dari seorang Mark bukan hanya AS tempat lahirnya tetapi dunia. Pengaruhnya mendunia. Bahkan terjadinya sosial engineering pada masyarakat demokratis berkat adanya Facebook. Terjadinya social engineering orang berkomunikasi dalam bisnis berkat adanya Apple. Mark dan Apple tanpa disadari telah menjadi raja di banyak negara dan berhak mengatur seperti ada peradaban yang dia mau.

Clearstream dan Euroclear adalah jaringan fintech berkelas dunia. Tidak dimiliki oleh negara tetapi oleh swasta konsorsium JP Morgan. Yang perputaran dananya mengalahkan GNP Amerika dan inggris. Yang tidak ada arti dibandingkan dengan 10 negara maju. Tidak ada satupun negara di dunia yang tidak tergantung pasar uang melalui portal Clearstream dan Euroclear. Terjadinya perubahan politik di Timur Tengah, Afrika, Venezuela dan lainnya tidak bisa di lepaskan akibat hukuman dari Clearstream dan Euroclear. Terjadinya perubahan peta bisnis dari zona Eropa ke Asia tak bisa dilepaskan dari peran dua lembaga ini.

Itu bukan karena mereka ingin mengusai dunia seperti kaum komunis atau khilafah. Berkuasa diatas kebodohan dan fantasi. Bukan karena mereka rakus. Kebanyakan hidup mereka justru jauh dari kemewahan duniawi. Jadi salah besar kalau mereka dianggap sebagai akar menciptakan rasio GINI melebar. Kehadiran mereka karena menjawab kebutuhan. Mereka diperlukan secara bisnis bagi siapa saja dan diterima oleh siapa saja. Dan siapapun yang waras sadar, bahwa keberadaan mereka telah berperan banyak menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha. Kalau ada yang tidak merasakan, itupun bukan karena tidak diperlakukan adil, tetapi itu karenan pilihan. Bebas saja. 

Sain itu hebat kalau bisa diterapkan secara bisnis. Kalau hanya sekedar pengetahuan dan hasilnya berupa buku tebal menumpuk di perpustakaan maka tak ubahnya dengan kejayaan sain era Yunani kuno dan Arab yang tidak melahirkan kemajuan peradaban. Justru inggris dengan revolusi industri membuat kemajuan terjadi. China yang melesat cepat memimpin aplikasi IPTEK. Menghasilkan kemakmuran bagi 1 miliar lebih penduduknya, itu karena bisnis. “ Kataku.

“ Jadi kamu minta aku realistis, dan berhenti menangis ? Katanya

“ Orang bisa bertahan dalam situasi apapun karena mereka punya harapan. Orang punya harapan karena dia berpikir bisnis. Dalam bisnis selalu akal sehat di depan, perasaan di belakang. Nah selagi Rudi tetap kirim uang ke ATM kamu, dan dia sempatkan datang untuk menyalurkan libidonya, anggap saja itu hanya bisnis. Kamu engga usah baper dengan sikapnya tidak seperti Romeo. Kamu focus aja kepada dirimu sendiri. Jalani bisnis kamu dan kehidupan privat kamu dengan happy. Karena pada akhirnya hidup ini, bukan apa yang kita dapat, tetapi apa yang kita beri. Bukan  apa yang kita pelajari tetapi apa yang kita ajarkan. Pada akhirnya orang mati sendiri sendir dan itu pasti. “ Kataku.

" Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika bersamamu.”Katanya. 
“Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?”
“Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku merasa aman dan nyaman. Dan lagi kita bersahabat lama.”
Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku hanya sebagai exit strategy. Dia sedang mencari opportunity untuk reposisi asset.
“Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui dalam hidupku. Kamu tak pernah menggoda mengajakku tidur. ….” Kembali dia “menyerangku”.
Aku menenggak bir langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu cukup meredam libidoku.
" Bagiku sex itu seperti  market bond dalam mekanisme OTC. " 
" TTM? katanya menebak metaforaku. Dengan tatapan serius mencari tahu dari mataku. Aku tidak menanggapi serius. Karena aku sedang tidak ask walau dia sudah bid.
“Bulan lalu aku sudah meminta cerai kepada suamiku. Sejak itu dia tidak pernah datang lagi” ucapnya tiba-tiba.
“ market sedang Shrink. Pindah portfolio bukan sikap smart. Sebaiknya kamu batalkan niat minta cerai. Kamu harus berusaha maintain portfolio yang ada. Tetaplah dengan suami kamu. “ kataku.
“Sekarang aku tinggal sendirian.” Katanya. Aku tersentak, karena dia bisa tersenyum tanpa menangis lagi. Sebaiknya aku sudahi pertemuan ini, dan pulang. Oma pasti ngomel, karena sudah diatas jam 10 malam  belum juga pulang. Dia kawatir aku masuk angin. Itu karena Oma engga mau aku sebagai assetnya fall down. Ya semua karena alasan bisnis. 

No comments: