Friday, May 1, 2020

Cetak uang sebagai solusi?


Entah mengapa saya ingat akan Rudi. Dia sahabat saya dulu waktu masih kuliah. Walau kami beda universitas, namun dia sahabat diskusi saya soal Politik. Saya senang diskusi dengan dia. Dia bukan hanya menguasai materi soal politik, tetapi dia juga jago bicara untuk meyakinkan orang lain. Apalagi kalau sudah membahas buku Tan Malaka, Madilog. Sejak peristiwa Tanjung Priok, saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Menurut teman dia sempat di tahan di Laksus Kramat IV. Tetapi engga jelas benar atau tidak. 

Secara kebetulan suatu waktu saya bertemu dengan dia dalam salah satu seminar tentang pemberdayaan UKM. Kebetula dia adalah EO nya. Dia masih ingat aku, sementara aku sudah lupa. Tubuhnya gemuk dan gaya  bicaranya masih sama seperti dulu. Namun idealisme semakin besar. Aku tidak mau bertanya apa kegiatan dia sekarang. Bagiku, dia akan selalu bisa hidup dalam situasi apapun. Karena dia memang mampu memukau banyak orang. 

“ Saat sekarang tidak bisa lagi kita mengandalkan teori lama untuk mengurus ekonomi nasional. Kita terlalu lama di cekoki oleh sistem mata uang ala kapitalis, dan itu hanya menguntungkan AS dan negara seperti China. “ katanya di sela sela break seminar.

“ Jadi teori apa yang kamu tawarkan ?

“ Lupakan sistem lama. Kita ciptakan sistem baru. Cetak uang, dan gunakan untuk pembiayaan pembangunan. Tidak perlu hutang. Nanti setelah pembangunan selesai, itu akan menghasil nilai dalam bentuk proyek dan barang. Pada akhirnya proyek dan barang itu akan mengalir kembali ke BI dalam bentuk pajak dan nilai tambah. Uang kita bakar. Sehingga keseimbangan kembali terjadi. Gampang kan. Kenapa harus memilih cara dungu. “ Katanya berapi api.

“ Kalau kita cetak uang, bagaimana kita bisa membangun? Karena tidak ada satupun produk yang bisa dihasilkan tanpa dukungan supplai chain global. Contoh semen itu memang bahan baku utamanya dari alam. Tetapi linked product berupa portland  dari Jerman. Apa iya jerman mau menjual produk dengan mata uang kita cetak begitu saja? Kan engga mungkin mau. Tanpa semen, engga ada proyek infrastruktur bisa dibangun. 

Contoh lain lagi. Kalau kamu mempunyai Ipad selular , di dalam selular kamu itu terdapat puluhan industry yang memasok berbagai komponen hingga dapat dirakit menjadi selular. Kalau kamu di dalam kendaraan, pada kendaraan itu terdapat berbagai industry yang memberikan dukungan hingga kendaraan itu utuh dan bisa dijalankan. Kamu duduk dalam mata rantai supply industry yang rumit. Ban, body kendaraan , interior dan lainnya dihasilkan dari bahan baku minyak bumi atau  nafta serta olefin.  Masing masing material kendaraan itu merupakan part yang diproduksi oleh industry berbeda. Semua  produk yang kita nikmati untuk memanjakan hidup sebagai orang modern merupakan gabungan dari barbagai produk yang dihasilkan oleh berbagai jenis usaha dari seluruh dunia. Singkatnya tidak ada satupun negara di dunia ini bisa mandiri 100% untuk menghasilkan produk. Nah mereka jelas tidak mungkin menjual produk dengan mata uang  lokal yang dicetak semaunya.”  Kataku mencoba mencerahkan.

“ Tapi kan sudah ada billateral SWAP antar negara, yang bisa menggunakan mata uang lokal untuk traksaksi “

“ Benar. itu dengan satu syarat bila masing masing negara patuh kepada sistem keungan global “

“ Sistem keungan global, the Fed, penjajah itu ? 

“ Bukan. The fed itu bagian dari sistem. Sama dengan BI. “

“ Jadi apa ?

“ Bank international for settlement. Di sini semua negara sepakat  tentang cara bagaimana mengatur uang beredar , mengendalikan resiko sistem keuangan dan menjamin terjadinya transparansi dalam melaksanakan sistem keuangan. Semua diatur sangat detail. Sehingga tidak bisa setiap negara semaunnya mencetak uang. Contoh di Indonesia.  Agar sistem keuangan dapat dikelola dan terjamin transparan. Otoritas keuangan tidak berada pada satu tangan. Tetapi terbagi tiga, yaitu Menteri Keuangan, BI dan OJK. Satu sama lain bersinergi namun mempunya tugas dan tanggung jawab berbeda. “

“ Wah wah..hebat kamu. Ternyata paham sekali kamu. “ Katanya tertawa. “ Coba uraikan secara sederhana, gimana negara dapatkan uang kalau APBN defisit, selain mencetak uang “ Lanjutnya. Saya tahu dia sedang mencoba menyudutkan saya lewat pertanyaan yang dianggapnya sulit kujawab. 

“ Kalau APBN surplus tentu tidak ada masalah. Itu akan jadi tabungan pemerintah di BI. Tetapi kalau defisit, maka menteri keuangan harus mendapakan sumber dana menutupi defisit itu.  Engga bisa Menkeu datang ke BI minta BI cetak uang. Itu too good to be true. Hanya ada di kerajaan utopia.  Itu dilarang oleh UU.”

“ Jadi gimana? 

“ Pemerintah bisa meminjam kepada World bank, ADB, Islamic Bank, dan lembaga multilateral. Harap maklum di semua lembaga multilateral itu pemerintah indonesia bukan hanya borrower tetapi juga shareholder. Jadi bukan mengemis utang.  Itu biasa saja pinjam ke mitra. Tetapi pinjaman itu engga bisa dipakai menutupi belanja APBN akibat defisit. Itu hanya bisa untuk pembiayaan pembangunan yang berhubungan dengan ekonomi real atau ekspansi fiskal.”

“ Lantas darimana dapat pinjaman untuk menutupi kekurangan belanja APBN? 

“ Ya, pemerintah mengeluarkan Bond atau surat utang negara  dalam bentuk SUN atau SBN. Surat utang itu bisa bermata uang rupiah bisa juga bermata uang asing. Sampai saat ini SUN diterbitkan tanpa warkat (scripless securities). Pencatatan kepemilikan dilakukan secara elektronik. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, kegiatan penatausahaan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga dan pokok SUN dilaksanakan oleh Bank Indonesia.”

“ Ok lah. Tekhnisnya gimana ?

“ Namanya surat utang, tentu ada ketentuan mengenai bunga atau kupon, jangka waktu, cara pembayaran bunga, dan cara pembayaran pokok. Bond itu diperjual belikan di pasar seperti komoditas pada umumnya. Yang mempengaruhi harga bond itu adalah suku bunga acuan BI. Harga ini menentukan yield ( imbal hasil ). Kalau harga naik, maka yield akan turun, begitupun sebaliknya ketika harga turun maka yield akan naik.”

“ Loh kenapa harga bond naik? Padahal suku bunga acuan BI turun”

“ Kembali lagi ini soal trust. Kalau suku bunga turun atau lebih rendah dari bunga obligasi itu artinya negara melalui BI memberikan dorongan agar dunia usaha bangkit, ekspansi kredit terjadi, pertumbuhan ekonomi akan naik. Kapastian bond terbayar engga perlu diragukan. Makanya bond diminati oleh banyak pembeli. Hukum demand and supply terjadi. Banyak permintaan,  tentu harga naik. Walau karena itu yield turun, engga ada masalah bagi investor. Karena Bond itu portfolio fixed income bagi investor jangka panjang.”

“ Tapi itukan sama saja dengan menggadaikan negara. Yang menanggung nanti anak cucu kita.” katanya. Saya tersenyum.

“ Yang harus dipahami bahwa SUN itu bukan pinjaman bersifat sovereign guarantee atau menggadaikan kedaulatan negara, seperti halnya pinjaman G2G. Bond itu yang jadi jaminan adalah trust. Ukuran trust itu bukan sekedar trust. Tetapi ada indikator yang jadi patokan oleh investor. “

“  Siapa yang mengukur trust itu?

“ Ya lembaga rating international. Semua aspek sosial ekonom, politik sudah diperhitungkan oleh lembaga rating sehingga memberikan rating atas surat utang itu. Nah pasar bersikap atas rating itu. Kalau ratingnya bagus, tentu pasar menyerapnya. Kalau ratingnya jelek, pasar pasti menolak. Rasional sekali pertimbangannya. Apalagi dalam perjalananya bond itu juga dinilai oleh pasar CDS. Naik turun premium CDS menentukan resiko dari bond itu.

“ Bagaimanapun itu tetap utang dan harus dibayar. “

“ Benar. Tetapi tidak dalam pengertian kita orang awam, dimana pemberi pinjaman butuh pelunasan utang dari kita karena dia butuh uang tunai. Engga begitu. Surat utang negara itu sama dengan uang tunai. Orang tidak pernah mempermasalahkan kapan dibayar. dan engga pernah nagih. Karena kapanpun dia butuh uang tunai, dia bisa jual di pasar. Pasar selalu menerima. Namun negara harus menjaga komitment membayar bunga ( kupon) dan pelunasan. Ini masalah trust. “

“ Gimana caranya kalau uang tunai tidak ada untuk bayar bunga dan cicilan ? apakah negara harus jual asset ? seperti kasus 1998 ketika krismon? Katanya.

“  Oh tidak perlu. “

“ Mengapa ? 

“ Perhatikan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, SUN itu di samping untuk membiayai defisit anggaran juga berfungsi untuk menutupi kekurangan kas jangka pendek ( Cash flow). Artinya kalau negara cash flow nya terganggu untuk bayar bunga dan cicilan, ya pemerintah bisa menerbitkan SUN lagi. Dan dalam kondisi keuangan negara sehat, negara bisa melakukan refinancing.”

“ Caranya? 

“ Dengan membeli kembali bond yang ada di pasar dan menerbitkan kembali bond dengan kupon yang lebih rendah dan jangka waktu lebih lama. Atau menukar bond bermata uang asing ke dalam SUN rupiah. sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pinjaman (cost of borrowings).”

“ Oh…Jadi bond itu bukan utang dalam arti gadai. Tetapi berhutang lewat sistem dimana likuiditasnya dijamin oleh Pasar. Sama dengan uang. Selagi orang percaya, maka bond itu akan terus berputar dari satu tangan ke tangan lainnya. Bagaimana orang bisa terus percaya? 

“ Selagi pemerintah focus menjaga pertumbuhan ekonomi lewat investasi, produksi, konsumsi dan APBN/D tersalurkan untuk memperkuat fundamtental ekonomi, maka bond adalah solusi efektif sebagai sumber daya keuangan.”

“ Mengapa ?

" Ada empat alasannya. Pertama, pemerintah tidak perlu kawatir dengan defisit APBN bila ingin mencapai target pertumbuhan yang dikehendaki. Mekanisme bond sangat likuid untuk menutupi defisit. Engga perlu pakai lobi dengan lender atau negara kreditur. Karena sistemnya sudah estabilished. Kelembagaan juga sudah established

Kedua, pemerintah tidak perlu mengorbankan cash flow untuk pembangunan bila harus bayar utang dan bunga. Karena mekanisme bond menyediakan sumber pembiayaan untuk mengamankan cash flow tersebut. Dan lagi investor akan lebih senang bila pasokan obligasi terus bertambah di pasar. Karena bisa meningkatkan value portfolionya.

Ketiga, mekanisme Surat utang negara ( bond), bukan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan.  Sumber utama APBN tetap berasal dari pajak , bagi hasil tambang dan lain lan.  SUN hanya dipakai untuk menutupi defisit, dan batasan ( pagu ) yang dibolehkan sesuai UU, adalah 3% dari PDB. Kalau ada perubahan pagu defisit, harus izin dari DPR. Sementara sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) maksimum sebesar 60%. Jadi pengawasannya sangat ketat dan konstitusional. Engga bisa direkayasa. Sangat transparan.

Keempat, dengan penerbitan Bond, memaksa pemerintah transparan dalam mengelola keuangan negara.  Investor selalu mengawasi segala aspek terhadap kinerja pemerintah. Seperti misal,  investor akan melihat berapa CPI ( Corruption perception index) kita. Semakin buruk index CPI semakin besar resiko Bond dan tentu semakin tinggi yield nya. Ini engga sehat. Pemerintah juga harus menjaga performance bisnis index seperti ease of doing business index , untuk memastikan pertumbuhan bisnis berkembang. Pemerintah juga harus meningkatkan Logistics Performance Index (LPI) agar investasi dan produksi tumbuh. Tentu pemerintah juga harus menjaga fundamental ekonomi dari sisi tingkat inflasi, cadangan devisa, neraca berjalan, dan defisit primer dll. Kalau ada orang tidak setuju negara berhutang dengan skema bond dan lebih memilih pinjam ke negara kreditur, itu artinya dia tidak ingin negara transparan dan lebih ingin negara jadi jongos asing.

Anda bisa lihat fakta seperti JepangASHong Kong, KoreaSingapore, Utang mereka sangat besar. Lebih besar dari Indonesia. Bahkan Jepang dan AS tingkat utang diatas 100% dari PDB. Aman saja. Mengapa ? karena semua indikator ekonomi yang saya sebutkan diatas bagus. Pasar percaya dan mereka terus berhutang sebagia bagian dari sistem keuangan mereka untuk meningkatkan kemakmuran.”

“ Jadi semakin besar negara itu sukses menerbitkan bond (SUN) semakin tinggi tingkat kepercayaan publik ( dalam dan luar negeri). Kepercayaan itu bukan karena politik pencitraan atau lobi  politik ke negara creditur, atau karena jongos asing, tetapi karena sistem yang established dan akuntabel serta credible. “ Katanya menyimpulkan.

“ Tepat sekali. Itulah ciri khas negara modern. Di mana utang bukan kutukan tetapi berkah trust sebagai sumber uang yang tak pernah habis. Kata kuncinya kerja dan kerja. Orientasi ekonomi kepada produksi bukan konsumsi.” kata saya dan dia tercerahkan.

“ Terimakasih. Ternyata selama ini pemahaman saya salah.Ternyata engga sesederhana itu soal keuangan dan moneter.” 

“ Engga usah pusing soal sistem. Yang penting focus bagaimana bisa berproduksi. Kita harus belajar dari China bagaimana bisa menghasilkan produk yang murah. Kita harus belajar dari AS bagaimana inovasi tekhnologi dan menguasai pasar. Belajar dari Eropa bagaimana membangun sistem yang sehat dan akuntable. Kita belajar dari Jepang bagaimana bisa unggul dalam semangat team work. Belajar dari Korea bagaimana menghitung biaya dan menguasa know how process produksi. Begitulah kalau ingin unggul dalam peradaban. Bukannya mengutuki sukses orang tetapi belajar dari kesuksesan orang lain” Kata saya.

Dia mengangguk. Entah paham atau tidak. Saya harus segera berlalu karena ada janji untuk urusan lain.***

No comments: